Tak Ada Ujian Nasional untuk Siswa SD, Ini Penggantinya!

Kompas.com - 15/03/2014, 09:59 WIB
Fitri Prawitasari

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Bidang Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim, mengimbau para siswa sekolah dasar tidak malas belajar untuk menghadapi Ujian Sekolah/Madrasah (USM) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN).

Tahun ini UN 2014 untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah ditiadakan. Nantinya, hasil USM tersebut akan digunakan sebagai tolok ukur untuk dapat menempuh ke jenjang berikutnya, yakni Sekolah Menengah Pertama (SMP).

"Nilai US akan digunakan untuk diterima masuk sekolah. Karena itu, siswa tak boleh malas. Kalau US-nya rendah, dia tak bisa masuk ke sekolah favorit yang dituju," kata Musliar, Jumat (14/3/2014).

Musliar menuturkan, peniadaan pelaksaan UN 2014 terkait dengan pendidikan dasar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah. Pendidikan dasar dan menengah, dalam hal ini SD dan SMP, dianggap merupakan kesatuan pendidikan yang berkesinambungan.

Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemendikbud, Furqon, mengatakan USM merupakan pengalihfungsian UN di tingkat SD.

"Ujian US dengan UN itu sama fungsinya, hanya beda pada pembuatannya. Jika UN dibuat dengan dikoordinir oleh pemerintah secara nasional, UN dikoordinasi oleh provinsi, namun tetap dengan kisi-kisi yang dibuat secara nasional," katanya

Nantinya, untuk kelulusan siswa nantinya, lanjut Furqon, akan diserahkan sepenuhnya kepada tingkat satuan pendidikan, dalam hal ini adalah oleh pihak sekolah. Sedangkan untuk teknis pelaksanaannya, Plt Kepala Puspendik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nizam, lain lagi.

"Pemerintah pusat akan menitip 25 persen soal pada masing-masing tiga mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan Sains. Kita titipkan itu untuk pemetaan kompetensi secara nasional," ujarnya.

Nizam mengatakan, hasil akhir pemetaan itu nantinya digunakan oleh kementerian untuk melakukan pembinaan. Pembinaan dibutuhkan jika ada sekolah memiliki kompetensi rendah pada bidang tertentu.

"Misalnya, rata-rata satu sekolah memiliki nilai Bahasa Indonesia 7, tapi kemampuan membaca essai rendah. Nanti kita cari sebabnya, apakah karena gurunya kurang menguasai atau karena bahan bacaan mereka kurang. Tapi, kalau ternyata gurunya kurang menguasai, nanti kita adakan pembinaan baik di tingkat sekolah, provinsi atau nasional," papar Nizam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau