Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Karena Kita Butuh Generasi Kesatria...

Kompas.com - 02/05/2017, 08:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

KOMPAS.com - Dalam epik Mahabarata dan Baratayuda dikisahkan tentang peperangan maha dahsyat selama 18 hari antara Pandawa dan Kurawa. Ini adalah Perang Baratayuda, perang saudara yang tidak cukup mengandalkan kesaktian, namun kepiawaian dan strategi pertempuran tingkat dewa.

Tak heran, saking dahsyatnya, peperangan ini membuat para dewa "turun tangan". Mereka memantau langsung dan memberikan arahannya.

Kini, setelah ratusan tahun berlalu, kisah perang legendaris itu masih terekam memasuki dunia yang semakin tak berbatas (borderless). Dunia tanpa batas itulah ibarat Padang Kurusetra bagi generasi muda kita, ketika hidup di satu negara hanyalah batas geografis dan informasi tidak lagi mengenal batas warganegara dan teritorial. Jadi, inilah Perang Baratayuda bagi generasi milenial!

Ya, semua adalah warga dunia sehingga di manapun berada kita akan menghadapi persaingan global. Yang pasti, hal sesungguhnya terjadi adalah "Perang Saudara" di dalam generasi milenial itu sendiri.

Memang, baik Pandawa maupun Kurawa punya pasukan siap tempur. Namun, pasukan tersebut tak ada artinya jika tidak dipimpin kesatria handal. Peperangan hanya akan dimenangkan pihak yang memiliki kesatria cerdik, dapat membaca situasi, dan kualitas kepemimpinannya sangat mumpuni.

Pandawa memiliki lima orang kesatria. Mereka hasil didikan dan tempaan para dewa. Sebutlah Arjuna, sangat ksatria utama Pandawa, yang tidak hanya belajar dari Resi Dorna dalam hal ilmu militer dan membidikkan panah, namun juga ditempa mentalnya melalui tapa brata di Mahameru (lakon Arjunawiwaha), sebelum akhinya ‘lulus’ dan dianugrahi senjata khusus oleh dewa berupa panah bernama Pasopati.

Pendidikan dan tempaan yang diterima oleh Arjuna, Yudistira, Bima, Nakula dan Sadewa adalah pendidikan lengkap. Ya, bukan hanya ilmu pengetahuan (kognitif)) yang didapat, melainkan juga pengasahan kematangan, kearifannya (asertif), serta keterampilan menerapkan ilmu (psikomotrik). Dengan modal itulah Pandawa memenangkan Baratayuda.

Dok Nuffic Neso Indonesia Mahasiswa Indonesia.
Kesatria bukan prajurit

Sistem pendidikan dan kurikulum nasional masa kini seyogianya harus bisa mencetak para kesatria tangguh. Bonus demografi yang ramai digaungkan bisa dinikmati pada 2030 tentu tidak akan terjadi begitu saja.

Kenapa? Ada 78 juta generasi muda usia produktif yang mungkin malah akan menjadi "beban" jika perguruan tinggi tak dapat memberikan suplai kesatria yang cukup kepada bangsa ini. Ingat, Kurawa diperkuat pasukan sebanyak dua kali lipat dari Pandawa, tapi tetap kalah dalam Perang Baratayuda.

Artinya, bonus demografi tidak akan terjadi jika perguruan tinggi hanya menyuplai angkatan kerja dengan spesifikasi pas-pasan, yang tidak bermuara pada keunggulan global.

Setelah pengasingan di hutan selama 12 tahun yang diikuti oleh tapa brata penuh cobaan, para dewa pun akhinrya menganugrahi pandawa dengan senjata utamanya. Salah satu yang terkenal adalah panah Pasopati yang dianugrahkan kepada Arjuna pada saat "wisuda" Arjunawiwaha.

Pasopati adalah lambang ilmu paripurna, bukti kelulusan cum laude, yang membuat Arjuna tidak hanya menguasai ilmu perang, tapi juga bermental baja dan keterampilan mengombinasikan keduanya. Ilmu yang harmoni;:ngerti, ngrasa , nglakoni menurut Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara.

Bima juga diberikan senjata khusus maha mematikan yaitu Gada Rujapala. Senjata ini sudah disesuaikan dengan karakterisktik Bima, yang kokoh dan kadang kasar.

Itulah hebatnya para dewa, para pendidik yang mampu menyesuaikan karakter dan potensi anak didik dengan ilmu yang diberikannya. Sebagian anak menjadi unggul kecerdasan linguistiknya, sedangkan yang lain lebih berpotensi dalam hal numerik dan kinestetik.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau