KOMPAS.com - Bukan rahasia lagi, bahwa banyak lembaga riset, mulai di tingkat nasional atau pusat penelitian dan pengembangan yang dimiliki hampir semua kementerian menjadi sekadar lembaga pelengkap. Bahkan, kalau boleh dibilang lembaga itu dibiarkan "berdebu" saking jarangnya dimanfaatkan, apalagi dioptimalkan oleh "yang punya".
Tak hanya itu. Muncul persepsi kuat, bahwa siapapun yang ditempatkan di bagian penelitian seakan-akan "dibuang" atau masuk golongan "orang buangan". Istilah penelitian dan pengembangan atau litbang pun kerap diplesetkan menjadi kependekan "sulit berkembang".
Maka, tak perlu heran, jika baru-baru ini sebuah keputusan menteri soal transportasi umum berbasis aplikasi hanya berumur kurang dari 24 jam, sebelum akhirnya dibatalkan akibat tuntutan publik. Tanpa memasukkan faktor lain, yaitu riset, yang konon menjadi pencetus pembatalan tersebut, mestinya tidak ada ribut-ribut dituntut batal oleh publik.
Ya, jika saja keputusan yang dikeluarkan atas dasar riset kuat, paling tidak riset hasil kajian badan litbang kementerian bersangkutan, tentu sang menteri dapat mempertahankannya. Tak semudah itu pendapat dan keputusannya dipatahkan, apalagi sampai dibatalkan.
Bisa dilihat, banyak kebijakan pemerintah, baik itu di tingkat pusat maupun daerah, bukan datang dari sebuah research-based policy. Banyak keputusan diambil secara impulsif, yaitu berdasarkan masukan dan diskusi sesaat dengan pihak-pihak yang "dekat" dengan pengambil keputusan. Keputusan itu tak ubahnya seperti pembicaraan ringan di warung kopi. Ya, ngobrol di warung kopi!
Ironisnya, banyak institusi lebih senang mengambil jalan pintas dengan membeli hasil riset dari luar negeri dibandingkan memanfaatkan hasil penelitian dari badan risetnya sendiri.
Jiwa pendidikan
Riset bahkan belum menjadi budaya kuat di kalangan dosen atau pengajar di perguruan tinggi. Hanya sedikit dosen yang benar-benar tertarik menggeluti dan memiliki passion di dunia penelitian. Kebanyakan hanya fokus pada pengajaran di kelas.
Tak heran, hingga saat ini tak satupun perguruan tinggi riset di Indonesia yang masuk peringkat 100 sampai 200 besar dunia. Tak bukan, karena kita sudah terlalu "kedodoran" dalam hal produktifitas dan efektifitas riset dikarenakan hampir 60 persen indikator penilaian berhubungan dengan kedua faktor tersebut.
Akibatnya, virus dan jiwa meneliti otomatis tidak tertularkan. Buktinya, banyak mahasiswa yang tugas akhirnya sangat dangkal dasar risetnya, yang kadang sekedar copy paste dari berbagai sumber.
Tak hanya itu. Banyak juga mahasiswa Indonesia pada saat kuliah di luar negeri kewalahan karena dituntut menjadikan riset sebagai titik awal dari semua tugas yang diberikan dosennya. mulai tugas harian, mingguan, sampai penulisan tugas akhir. Mereka kurang terdidik untuk mencintai dan bergantung pada riset.
Saat ini, total jumlah semua karya ilmiah yang dihasilkan seluruh perguruan tinggi di Indonesia kurang lebih mencapai 3.000. Hanya sekitar 10.000 yang berindeks Scopus.
Scopus semacam lembaga akreditasi jurnal ilmiah. Jika sebuah jurnal sudah diindeks di dalam Scopus, otomatis jurnal itu sudah memenuhi standar publikasi ilmiah internasional.
Sebagai bandingan, satu perguruan tinggi, misalnya University Sains Malaysia, menghasilkan 15.000 karya ilmiahnya dan sudah diindeks pada Scopus. Catat, hanya dari satu universitas!