Budaya Riset
Saat ini, ketika banyak negara maju menjadikan riset sebagai tulang punggung, menjadi sebuah driving force dari kemajuan pembangunannya, di Indonesia riset masih dianggap sebagai area kurang menarik. Riset terdengar kurang "seksi"!
Ya, profesi peneliti seringkali dianggap sebagai profesi tidak menjanjikan dibandingkan profesi lain, misalnya dokter, banker, atau artis sinetron. Sudah terbukti!
Sejatinya, budaya riset sudah diperkenalkan sejak pendidikan dasar. Riset adalah awal dari proses penyelesain suatu masalah. Flavour riset yang lebih "medok" dalam kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya lebih terasa sejak pendidikan dasar, dan tentunya dibarengi oleh kompetensi dan passion pendidik terhadap riset.
Tentunya, jika hal itu bisa diwujudkan, otomatis muaranya adalah produktitas riset di level pendidikan tinggi. Hasil riset yang linked dengan industri pun pada akhirya bisa membawa manfaat bagi masyarakat.
Bukan tanpa alasan perusahaan sekaliber Philips di Belanda menjalin kemitraan strategis dengan perguruan tinggi. Sebutlah misalnya, mana mungkin Philips mau menggandeng kerjasama dengan Technische Universiteit Eindhoven (TUE) dalam bidang inovasi digital, jika universitas itu tak punya budaya riset kuat.
Kemitraan itu memberikan ruang seluas-luasnya bagi sekitar 200 peneliti, profesor, calon doktor dan mahasiswa untuk menguji dan menjadikan kemitraan tersebut sebagai suatu living lab untuk kepentingan pendidikan dan juga percepatan adopsi hasil riset mereka di bidang kesehatan, dan penerangan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Contoh nyata, hasil riset tidak hanya berakhir di perpustakaan saja!
Tanggung jawab siapa?
Sebenarnya, sebuah riset tidak perlu mahal. Yang penting, riset harus berkesinambungan dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga bisa bermanfaat.
Namun, tidak dapat dipungkiri, bahwa anggaran riset nasional kita yang hanya 0.09 persen dari produk domestik bruto (PDB) jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga. Sebutlah Singapura dan Malaysia, yang anggaran risetnya sudah di atas 1 persen dai PDB.
Idealnya, memang dana dari pemerintah tidak menjadi satu-satunya sumber. Kasus TU Eindhoven dan Philips di atas menunjukkan betapa pihak industri rela berinvestasi mengucurkan dana riset besar karena tingkat kepercayaan tinggi terhadap kualitas riset perguruan tinggi. Inilah kondisi ideal, dimana riset menjadi kebutuhan dan tanggung jawab semua pemegang kepentingan.
Ya, karenanya percepatan produktiftas riset bukan saja dengan menaikkan anggaran riset nasional, tapi juga reorientasi arah pendidikan, mulai pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi menjadi lebih berbasis riset.
Sudah saatnya riset menjadi budaya bangsa, dan bukan lagi mengambil keputusan laiknya ngobrol di warung kopi...
Penulis adalah pemerhati pendidikan dan bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office (NESO) di Jakarta