Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Mudik, Pemilu dan Stereotip Kepribadian

Kompas.com - 11/06/2018, 09:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Seorang budayawan pernah bertanya pada seorang seniman saat sedang bersantai di sebuah kafe Manhattan.  Dalam terjemahan bebas berikut percakapannya;  “Mbak aslinya mana?” dan dijawab “Saya bukan dari mana-mana, saya warga dunia”.

Mungkin budayawan bermaksud menanyakan ‘si Mbak’ ini lahirnya di mana, di negara mana, di kota mana. Namun pengertian ‘asal tempat lahir’ ini kemudian menjelma menjadi identitas dan stereotip.

Seperti ketika kita menanyakan, misalnya “Jo aslimu ngendi je (Jo, asli kamu mana)?” kemudian dijawab “Seko Banyuwang (dari Banyuwangi)”. Kemudian si penanya orang Jawa itu mengasosiasikan dengan orang Blambangan atau orang Osing, dan dia membatin “Hmm, Bejo ini pasti punya kaitan dengan orang yang sukanya menculik perempuan untuk dinikahi…”

Hal seperti ini mirip keyakinan sebagian orang tua Jawa yang menganggap perempuan Sunda dengan streotipe tertentu sehingga sebisa mungkin anaknya tidak usah menikah orang Sunda.

Stereotip sendiri merupakan istilah dalam psikologi sosial untuk menggambarkan over-generalisasi dalam mengategorikan sekelompok orang.

Misalnya, orang Batak dianggap memiliki stereotip kasar dan keras. Padahal ya tidak semuanya. Teman saya laki laki orang Batak, lahir dan besar di Batak, orangnya lemah lembut dan tidak ada kasar-kasarnya sama sekali.

Stereotip ini kental hubungannya dengan identitas tertentu, misal wilayah dan tempat kelahiran.

Orang yang lahir di wilayah tertentu dianggap orang asli. Padahal ini problematik.  

Teman saya orang Tionghoa, lahir turun temurun sejak kakek-neneknya lahir di Cirebon. Sampai sekarang tidak ada yang menganggapnya orang asli Cirebon.

Sehingga, menurut saya stereotip ini menyesatkan.

Identitas stereotip dalam politik

Tidak hanya wilayah asal dan tanah kelahiran, preferensi politik bisa juga menjadi identitas stereotip.

Bahkan warna baju bisa menjadi identitas stereotip. Dalam pertandingan sepakbola, orang yang memakai baju dengan warna mirip suporter lawan, meski orang itu hanya numpang lewat bisa diejek, bahkan dipukuli.

Begitu pula para perantau seperti saya yang bekerja di Jakarta menjelang lebaran selalu ditanya “kapan mudik?” Istilah mudik ini berarti pulkam alias pulang kampung karena saya dianggap bukan asli Jakarta meski saya bertahun-tahun hidup di Jakarta.

Kata pulang menurut KBBI berarti “pergi ke rumah atau ke tempat asalnya”. Kawan saya di kantor sering berseloroh ” Gue kagak mudik nih, orang gue betawi asli...”. Jadi arti pulang di sini sebenarnya tereduksi sehingga ‘pulang’ hanya milik orang non-Jakarta atau lebih khusus non-betawi yang kembali ke kota asalnya.

Halaman:



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau