Padahal ketika saya akan balik lagi ke Jakarta saya pamit pada Mbah saya “Mbah kulo badhe wangsul teng Jakarta,(Mbah, saya mau ‘balik’ ke Jakarta)” demikian kira-kira, sehingga pengertian ‘pulang’ di sini bertabrakan dengan pengertian ‘pulang’ sebelumnya.
Meski demikian, seringkali saya sendiri memberikan “pagar” atau stereotip untuk memudahkan saya mengenal orang satu dengan yang lain. Misal si Horas dari Medan, oh si Kalpika dari Bali, dan seterusnya.
Tujuannya positif: supaya saya bisa dengan cepat menyesuaikan diri bila mengobrol. Misalnya dengan si Horas saya kecil kemungkinan akan bertanya “Bagaimana Bli, pantai Kuta sekarang, rame ya?” Pertanyaan itu untuk si Kalpika.
Namun kenyataannya stereotip lebih sering digunakan untuk menyatakan wilayah dan menghakimi daripada sebagai alat bantu untuk saling mengenal.
Pada suatu ketika, orang Batak Sanggau Ledo mungkin akan langsung curiga jika berpapasan orang Madura, begitu pula sebaliknya. Anggota FPI akan melihat dan memperlakukan orang Ahmadiyah berbeda dengan orang Muhammadiyah.
“Cebong” (pendukung Jokowi) akan langsung menganggap “Kamvret” (pendukung Prabowo) tidak paham dan sebaliknya.
Lebih dari itu pagar-pagar itu kini semakin menyempit, bersilangan, semakin tinggi dan meruncing.
Stereotip menyesatkan
Sebuah kisah mengatakan bahwa dahulu kala Tuhan menjatuhkan sebuah cermin dari langit dan pecahannya terserak di seluruh muka bumi. Setiap orang di belahan bumi yang berbeda menemukan cermin itu dan tergetar oleh keajaibannya.
Mereka mulai mengenal penciptanya dari pantulan cermin tersebut dan Tuhan memerintahkan para penemu cermin untuk menyatukan kembali pecahan-pecahan tersebut dengan mengenal orang dari belahan bumi yang lain. Namun pekerjaan itu tidak pernah selesai.
Para penemu cermin mewariskan kisah dan tugas berat ini pada anak keturunannya sehingga kisah cermin tersebut menjadi sejarah dan membentuk bangsa-bangsa.
Namun bukan disatukan, pecahan cermin ajaib itu justru dipecah-pecah karena semua orang ingin memiliki. Mereka memperebutkan dan bahkan menggunakan sebagai senjata untuk melukai bangsa lain.
Setiap pemilik cermin merasa cerminnya yang paling asli.
Jadi sebenarnya apa yang membuat seseorang lebih asli daripada yang lain?
Jawabannya tidak ada. Menurut saya istilah “asli” itu sendiri lebih sering menyesatkan dan menyebabkan kita melakukan stereotip.
Hal ini yang mungkin ingin dihindari ‘Mbak’ tadi yang mengatakan “Saya bukan dari mana-mana, saya warga dunia”, supaya kita tidak terjebak pada over-generalisasi yang berpotensi merusak hubungan pertemanan.
Hal ini bisa kita terapkan juga pada pertanyaan “pemilu tahun depan kamu milih siapa?”. Kita bisa menjawab simpel saja: “Rahasia” atau “saya belum menentukan.”
Menurut saya itu lebih baik daripada terjebak dalam perseteruan politik yang belum tentu ada manfaatnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.