Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UGM: Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Mulai Krisis Air

Kompas.com - 26/03/2021, 20:50 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Albertus Adit

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Air sangat dibutuhkan bagi semua makhluk hidup. Baik tumbuhan, hewan dan manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun ketersediaan air, kini menjadi hal krusial bagi banyak makhluk hidup. Karena, di beberapa daerah mulai berpotensi mengalami defisit air atau menurunnya jumlah air untuk memenuhi kebutuhan.

Hal ini, dikatakan oleh Guru Besar Fakultas Teknik UGM, Prof. Sunjoto Kusumosanyoto. Ia menyebut bahwa sejumlah daerah di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara telah mengalami defisit ketersediaan air.

Kondisi ini telah terjadi sejak tahun 1980-an dan saat ini memerlukan upaya penanganan yang segera untuk memastikan ketersediaan air bagi generasi mendatang.

"Di Indonesia yang mulai defisit air Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Memang tidak seluruhnya, tapi faktanya defisit saat ini sudah sangat besar," terangnya dilansir laman ugm.ac.id.

Ia menerangkan ketersediaan air yang dimaksud adalah kebutuhan air untuk hidup. Di Indonesia besarannya dihitung antara 1.500-2.000 Liter per hari per kapita.

Kebutuhan ini bukan hanya meliputi kebutuhan air domestik rumah tangga untuk makan, minum, mandi, dan mencuci. Tetapi juga kebutuhan lainnya seperti untuk pertanian dan peternakan sebagai industri penyedia sumber makanan.

Baca juga: 7 Hoaks tentang Covid-19 Dibedah Dua Pakar UGM

Sunjoto mengatakan, daerah di Papua menjadi salah satu daerah dengan surplus air yang paling besar karena memiliki wilayah yang luas dan curah hujan yang tertinggi serta jumlah penduduk yang relatif sedikit.

Sementara itu, Pulau Jawa dan Bali sebenarnya memiliki curah hujan yang tinggi, tidak seperti Nusa Tenggara yang cenderung memiliki curah hujan rendah, namun mengalami defisit air karena kepadatan penduduk cukup tinggi.

"Ini yang perlu mendapat perhatian lebih, meskipun tidak berarti yang di pulau-pulau lainnya tidak perlu diperhatikan juga," imbuhnya.

Pria yang mendapat anugerah Kalpataru sebagai Pembina Lingkungan berkat temuan formula perhitungan dimensi Sumur Peresapan Air Hujan ini mengungkapkan banyak masyarakat belum memahami kondisi ini karena masih memperoleh akses terhadap air bersih sepanjang tahun.

Sementara masyarakat yang tinggal di daerah tertentu sudah mulai merasakan kesulitan untuk memperoleh air ketika memasuki musim kemarau.

Baca juga: Rencana Kuliah Tatap Muka Agustus, UGM Beri Syarat Ketat

Padahal, kata Sunjoto air yang tersedia di bawah tanah sudah sangat menipis dan air yang saat ini dinikmati oleh masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, sebenarnya adalah cadangan air yang seharusnya diperuntukkan bagi generasi mendatang.

"Kita tidak merasa kekurangan air, tapi kita ini sudah menggunakan hak generasi mendatang. Ini yang tidak kita sadari," ungkap Sunjoto.

Menurut Sunjoto, cukup sulit untuk mengubah kondisi defisit air menjadi surplus. Meski demikian, upaya menuju hal tersebut harus dilakukan. Pemerintah maupun masyarakat dapat mengambil bagian dalam upaya ini melalui cara-cara vegetatif maupun konstruktif.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau