Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Kabar Tim Pemburu Koruptor?

Kompas.com - 22/07/2011, 07:25 WIB

Upaya

Pada umumnya, para terduga koruptor tersebut melarikan diri sebelum sempat dicegah ke luar negeri. Dengan berbekal paspor, mereka mengunjungi negara tetanga seperti negara-negara anggota ASEAN dan Australia. Pemerintah seolah terlambat menerbitkan surat cegah apalagi penarikan paspor. Padahal, dengan menarik paspor mereka, ruang gerak para terduga korupsi yang buron ke luar negeri itu dapat dipersempit.

Misalnya, dalam kasus Nunun Nurbaeti. KPK baru mengajukan permohonan penarikan paspor Nunun kepada Dirjen Keimigrasian Kemenkumham sekitar Mei 2011. Sementara Nunun bertolak ke Singapura sejak Februari 2010. Alasan KPK, saat pergi ke Singapura, Nunun belum menjadi tersangka sehingga KPK tidak dapat melakukan upaya hukum yang tegas seperti meminta penarikan paspor. Untuk diketahui, Nunun menjadi tersangka sejak Februari 2011.

Kini, informasi soal lokasi keberadaan Nunun menjadi simpang siur. "KPK terlambat untuk menarik paspor Nunun. Sekarang dia (Nunun) sudah ke luar Singapura. Karena di sana (Singapura) ketat hukumnya, 30 hari dia di sana, bisa overstay, dan dideportasi," kata aktivis Indonesia Corruption Watch Tama S Langkun.

Menurut dia, KPK seharusnya mengajukan permintaan penarikan paspor Nunun sejak istri Adang Darajatun itu dicegah ke luar negeri. Berdasarkan undang-undang keimigrasian yang baru yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 penarikan paspor dapat dilakukan terhadap seseorang dalam status pencegahan tanpa perlu menunggu orang tersebut menjadi tersangka.

"KPK berwenang melarang seseorang ke luar negeri. Bisa siapa saja, dalam hubungan penyelidikan, penyidikan, penuntutan. Di undang-undang imigrasi yang baru Pasal 31 Ayat 23 disebutkan, pencabutan paspor bisa dilakukan jika melakukan perbuatan melawan hukum atau dalam status pencegahan," ungkap Tama.

Lengkapnya, Pasal 31 Ayat 3 yang mengatur soal penarikan paspor tersebut berbunyi, "Penarikan Paspor biasa dilakukan dalam hal (a) pemegangnya melakukan tindak pidana atau melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia; atau (b) pemegangnya termasuk dalam daftar Pencegahan".

Pengamat hukum dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengungkapkan, poin penarikan paspor tersebut baru diatur dalam undang-undang keimigrasian yang baru. Dalam undang-undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tidak diatur kewenangan penarikan paspor. Hal itulah yang menurut Hikmahanto menjadi alasan Kejaksaan Agung belum mengajukan permintaan penarikan paspor terhadap para terduga korupsi yang sudah buron sejak 2001.

Meskipun demikian, katanya, permintaan untuk menarikan paspor buronan-buronan lama tersebut dapat saja dilakukan saat ini, dengan mengacu pada undang-undang keimigrasian yang baru. "Konsekuensi penarikan paspor tersebut yang bersangkutan akan dinyatakan tidak sah berada di negara itu," kata Hikmahanto.

Dia melanjutkan, langkah penarikan paspor tersebut seharusnya segera ditindaklanjuti dengan penandatanganan MLA kedua negara. Dengan adanya MLA, Indonesia dapat meminta bantuan kepada negara tempat terduga koruptor itu berada untuk menangkap mereka. "MLA berkaitan dengan minta bantuan ya, bukan memulangkan ya," ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com