Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cagar Budaya yang Terancam di Tepian Batanghari

Kompas.com - 20/03/2012, 19:45 WIB

Namun kini di kawasan tepian sungai itu hampir tak ditemui sisa pemukiman lama tersebut. Seluruh rumah penduduk telah bergaya modern semi permanen, walau masih ada sebagiannya yang bertiang dan terbuat dari kayu. Di ujung jalan setapak menuju desa, ada warung makan dengan sebuah gerobak di depannya yang bertuliskan Sate Padang dan Mie Ayam.

Warung jajanan ini bagi sebagian pengunjung mungkin cukup ironis. Di tengah-tengah objek wisata yang sangat potensial bagi perekonomian penduduk dan pemerintah daerah, justru tidak ada jajanan khas atau pernak-pernik unik lainnya yang mencirikan masyarakat di wilayah itu, yang dapat dijadikan cendramata bagi para pengunjung. Yang ada justru kuliner dari negeri seberang yang jauh.

Perhatian untuk candi Muarojambi

Candi Muaro Jambi menjadi perhatian kembali sejak 1820 setelah terkubur berabad tahun lamanya. Pada saat itu S.C. Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris dalam sebuah lawatannya ke Hindia Timur mendapat laporan dari warga sekitar. Mereka menemukan "benda-benda aneh" berbentuk bebatuan dan pecahan keramik-keramik kuno.

Seratus tahun sesudahnya seorang Belanda, Frederic Martin Shnitger kembali mendatangi daerah itu. Dia yang memiliki ketertarikan besar terhadap benda-benda arkeologi di Hindia Belanda berkesimpulan, kawasan itu merupakan ibu kota dari sebuah peradaban yang sangat maju pada zamannya.

Laporan-laporan tentang itu kemudian dituliskannya dalam "The Archaelogy of Sumatra" pada 1937. Dan sejak itu kitab tersebut dijadikan babon dan rujukan oleh hampir semua peneliti arkeologi dari pelbagai bangsa untuk mengetahui Muaro Jambi.

Diperkirakan terdapat 82 bangunan candi dengan material bata merah yang terkubur di kawasan itu. Sebagiannya telah dieskavasi dan renovasi. Masing-masing bangunan tersebut memilki struktur yang berbeda-beda namun tetap menggunakan material serupa.

Dari seluruh bangunan candi yang berhasil dieskavasi, terdapat satu candi yang bernama Candi Astano. Schnitger pernah akan membongkar tanah di bangunan itu. Dari pangamatannya dan cerita-cerita penduduk setempat, di dalam bangunan itu terdapat makam raja-raja, sebab itulah candi itu bernama Astano yang bermakna makam/kuburan raja-raja. Sontak saja rencananya itu menuai protes dari warga sekitar.

Kini kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan wisata sejarah terpadu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 22 September 2011 lalu itu terancam rusak.. Penetapan oleh Presiden RI atas kawasan terpadu sejarah itu ternyata tidak cukup ampuh melawan ekspansi industri dan komersialisasi tanah serta sumber-sumber pertambangan, yang justru direstui oleh kepala daerah setempat, yang notabene perpanjangan tangan Presiden di daerah.

Tindakan-tindakan segelintir pengusaha yang mengacak-acak kawasan seluas 2.612 hektar itu dengan melakukan penimbunan batu bara dan CPO yang berpotensi merusak sejumlah situs dan menapo mencemaskan sebagian masyarakat pencinta budaya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com