"Apalagi ini kolaborasi seni pertunjukan, musik, dan tarian tradisional Indonesia yang melibatkan para mahasiswa internasional lainnya sebagai pemain dan penari. Kita sendiri yang melatih mereka (mahasiswa asing) yang terlibat di pergelaran ini," ujar Robertus.
"Dulu aku juga benar-benar tak terlalu peduli dengan budaya Indonesia. Rasanya biasa saja, kuno, katro. Ternyata, berada di sini (Jepang), banyak orang penasaran bertanya pada saya soal Indonesia, soal makanannya, tariannya. Ternyata, banyak yang senang dengan budaya kita. Dari situlah saya mencari tahu tentang budaya Indonesia, beli wayang waktu pulang ke Indonesia, dan berbagi cerita ke teman-teman internasional saya soal Indonesia," timpal Brenda Dayanara, mahasiswa semester dua jurusan APM di kampus tersebut.
Jiwa nasionalisme
Dahlan Nariman, Vice-Dean of Admissions, Associate Professor, Education Development and Learning Support Center (EDLSC) di Ritsumeikan Asia Pacific University/APU), Jepang, mengaku kondisi "terpencil" kampus APU sebenarnya berandil besar terhadap aktifnya kegiatan-kegiatan non-akademik untuk mahasiswa, seperti Indonesia Week. Bisa dikatakan, selama 24 jam sehari aktivitas di dalam kampus ini berlangsung tanpa henti, mulai kegiatan ringan sekadar kumpul-kumpul masak bersama, makan bersama, pertandingan olah raga antarnegara, sampai kegiatan klub-klub olah raga dan seni yang mencapai lebih dari 150 klub.
"Kegiatan formal dan informal ini berandil sangat besar dalam mengkondisikan mahasiswa dari berbagai negara itu ke dalam satu komunitas dalam hubungan satu sama lain yang sangat mencair," kata Dahlan.
Dia memaparkan, sekitar 40 persen dari 6.000 mahasiswa APU adalah orang asing non-Jepang. Mereka datang dari 81 negara. Tenaga pendidiknya juga datang dari 28 negara berbeda sehingga inilah yang menjadikan lingkungan APU sebagai "kampus internasional".
Menurut dia, beragam aktivitas akademik dan non-akademik itu, baik yang diciptakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh pihak universitas, sebenarnya menjadi arena pembentukan jiwa lulusannya yang terdiri dari beragam bangsa. Terutama jiwa nasionalisme di saat mereka bersiap menjadi warga dunia; sebagai warga internasional.
"Memang, banyak pihak khawatir, jika kita banyak berhubungan dengan orang asing berbeda budaya, identitas kita semakin nyaris hilang tak berbekas. Namun, berdasarkan pengalaman saya di APU, jawabannya tergantung diri kita masing-masing. Jika ingin larut, memang gampang sekali identitas diri kita hilang larut dalam budaya lain," kata Dahlan.
Tahun ini, kembali melalui Indonesia Week 2013, terbukti, para mahasiswa Indonesia terbukti cakap mengemas budaya Indonesia. Indonesia Week menjadi identitas yang mudah diakui di "kampung internasional" tersebut.
"Buktinya, tiap kali puncak acara digelar, yang selalu dinantikan orang dari berbagai negara di sini adalah indahnya gerakan Tari Saman. Anak-anak itu (mahasiswa Indonesia), telah menjadikan Tari Saman sebagai trade mark wakil budaya Indonesia di APU, yang selalu mengundang decak kagum masyarakat global di kampus ini," ujar Dahlan.
Belajar dari peristiwa ini, dalam globalisasi penggalian identitas diri dan apa yang dimiliki para mahasiswa Indonesia itu sangat penting dalam berbagai sektor apapun. Tetapi, diperlukan kerja keras tanpa henti, untuk menggali, mengemas dan melakukan berbagai percobaan agar bisa diterima, laku dan mendapat antusisme di arena global.
"Setidaknya, mereka sudah membuktikannya. Mereka berhasil dan bangga menjadi orang Indonesia, meskipun jauh dari tanah airnya," ucap Dahlan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.