KOMPAS.com - “Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah ‘dosa’ setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.”
Paragraf di atas merupakan sepenggal pernyataan panjang dari Anies Baswedan. Saat paragraf itu diucapkan, Anies belum menjadi menteri tetapi masih akademisi yang menggaungkan gerakan pengiriman tenaga-tenaga muda pengajar ke pelosok-pelosok kampung.
Bagi sebagian besar kita yang tinggal di perkotaan, sekolah sudah menjadi bagian dari hal lumrah yang dijalani setiap anak.
Analoginya, mandi pasti akan memakai air, menggunakan sabun untuk membersihkan badan, dan sesudahnya badan dikeringkan memakai handuk, laiknya urutan peristiwa dari lahir, tumbuh, sekolah, kerja, menikah, menjadi orangtua, dan seterusnya.
Namun, menengok sedikit ke pinggiran kota, lalu ke daerah di luar perkotaan, dan sesudahnya ke pelosok-pelosok, sekolah ternyata masih menjadi barang mewah bagi banyak anak-anak. Sebagian dari mereka tidak sekolah karena ketiadaan biaya, ada pula karena akses yang tak tersedia, atau bahkan sekadar tidak tahu ada sekolah.
Data yang sama memperlihatkan, jumlah anak usia SD yang terdaftar di sekolah mencapai 96,7 persen. Namun, tak semuanya lulus, apalagi melanjutkan sekolah.
Setidaknya, mereka yang seharusnya duduk di bangku SMP hanya 77,82 persen benar-benar sekolah. Bahkan, mereka yang berusia setingkat anak SMA hanya 59,71 persen menikmati kursi kelas.
Itu pun ada tantangan berupa infrastruktur dan fasilitas sekolah yang memadai. Simak saja misalnya, surat dari tiga siswi sekolah di kawasan perbatasan yang dikirimkan ke Presiden Joko Widodo, untuk peringatan ulang tahun ke-70 Indonesia pada 2015. (Baca: Tiga Siswi Sekolah di Perbatasan Kirim Surat ke Presiden Jokowi).
Perjuangan anak-anak untuk bisa berangkat ke sekolah juga tak sesederhana hitungan tarif angkutan umum atau ojek di perkotaan. Ada yang harus berjalan kaki belasan kilometer menuju sekolah, bahkan sebagian harus bertaruh nyawa bergelantungan melewati jembatan rusak. Semua dilakukan hanya untuk bisa sampai ke sekolah. (Simak: Lagi-lagi, Berjuang Menuju Sekolah di Banten).
Tanggung jawab sosial
Kesadaran mengenai tanggung jawab menyelenggarakan dan memenuhi hak pendidikan seperti ungkapan Anies, pada akhirnya butuh tindakan nyata. Upaya pemerintah menggratiskan biaya pendidikan dasar di sekolah negeri adalah satu hal, tapi banyak faktor masih menjadi tantangan di lapangan.
Tentu, merutuki saja fakta atau sekadar mengecam otoritas yang menangani soal infrastruktur dan pendidikan bukanlah solusi yang dibutuhkan. Banyak jalan untuk membantu anak-anak ini mendapatkan bekal masa depannya di jalur formal, mulai dari bantuan perorangan, gerakan, atau donasi lewat lembaga.
Institusi usaha juga punya peluang berperan soal pendidikan ini dan itu bisa dilakukan lewat banyak cara. Salah satunya melalui program tanggung jawab sosial seperti yang ditempuh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS).