Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peter van Tuijl, Pendidikan dan Refleksi Era Soeharto!

Kompas.com - 10/08/2017, 13:11 WIB
M Latief

Penulis

KOMPAS.comPeter van Tuijl bukan nama baru di kalangan aktivis Tanah Air. Semasa masih kuliah, sejak 1981 pria berkebangsaan Belanda itu sudah masuk ke Jakarta dan terlibat aktif mengurus yayasan untuk keluarga tahanan politik peristiwa G30S/PKI.

Sebagai pemegang gelar master bidang Modern Asian History and the Economy of Developing Countries di University of Amsterdam, Belanda, Peter memang ahlinya untuk bidang civil society.

Dia "kenyang" menerbitkan sejumlah artikel dalam jurnal akademik dan media mengenai peran LSM, transnasional masyarakat sipil, hak asasi manusia, akuntabilitas LSM serta perkembangan sosial dan politik di Indonesia.

Peter memulai itu sejak era pemerintahan represif Soeharto. Aktivitasnya membawa perkenalan yang baik dengan almarhum Adnan Buyung Nasution, almarhum Munir, serta Todung Mulya Lubis.

"Saksi pernikahan saya itu almarhum Gus Dur. Saya lalu masuk Infid dan berkumpul sebagai komunitas LSM yang ingin sedikit lebih kritis. Maklum, itu zaman Soeharto," kata Peter yang pernah menjabat Sekretaris Eksekutif Forum LSM Internasional untuk Pembangunan Indonesia atau International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

Peter, yang juga pernah menjabat Direktur Eksekutif Kemitraan Global untuk Pencegahan Konflik Bersenjata (GPPAC), menuturkan di antara 2000-2007 dia tinggal di Jakarta. Dia bekerja di UNDP dan menjadi penasihat teknis senior dalam memerangi korupsi di Kepolisian Negara Republik Indonesia di bawah pengawasan Program International Criminal Investigative Training Assistance (ICITAP), Departemen Kehakiman Amerika Serikat.

Sebelumnya, Peter bekerja sebagai Senior Advisor dengan OxfamNovib. Konsentrasinya pada pengembangan kapasitas advokasi LSM, dan menjabat Sekretaris Eksekutif untuk Forum LSM Internasional untuk Pembangunan Indonesia (INFID).

Bersama rekannya, Lisa Jordan, pada 2009 Peter menerbitkan buku "Akuntabilitas LSM: Politik, Prinsip dan Inovasi". Di buku ini dai memaparkan bahwa sebagai segmen masyarakat sipil yang tumbuh paling cepat dan tampak menonjol di dalam arena politik global, LSM kerap diserang karena dianggap "tidak akuntabel.

Di situ Peter melakukan penyelidikan pertama yang komprehensif mengenai isu-isu dan politik akuntabilitas LSM di semua sektor. Lewat buku ini, Peter menawarkan penilaian terhadap perangkat-perangkat kunci yang tersedia mencakup akuntabilitas legal LSM. 

Refleksi Soeharto

Pekan lalu, awal Agustus 2017, Peter resmi menjabat Direktur Nuffic Neso Indonesia yang baru. Dia menggantikan Mervin Bakker yang menjabat sejak 2012.

"Bagi saya, akhir-akhir ini, mengurus pendidikan menjadi semacam refleksi hidup saya sejak zaman Soeharto. Saya ingin sekali berbuat sesuatu untuk pendidikan di Indonesia," ujar laki-laki kelahiran 6 Juni 1958 itu.

"Kenapa, karena era pemerintahan Soeharto itu terlalu represif untuk anak-anak Indonesia. Tak banyak orang Indonesia bisa keluar negeri untuk sekolah. Tidak ada alokasi besar untuk beasiswa bagi anak-anak Indonesia," tambahnya.

Kini, semua itu berubah. Pada Sabtu (5/8/2017) kemarin, Peter terkejut melihat lebih dari 350 pelajar Indonesia berkumpul di Eramus Huis Jakarta untuk mengikuti acara Pre Departure Briefing yang rutin digelar setiap tahun oleh Nuffic Neso Indonesia.

Menurut dia, semakin terbukanya informasi pendidikan sejak reformasi atau runtuhnya Pemerintahan Soeharto pada 1998 telah memberi pemahaman baru bagi pelajar dan masyarakat Indonesia, bahwa beasiswa pendidikan tinggi di luar bisa dinikmati semua orang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com