Pemikiran-pemikiran besar dari para tokoh itulah yang disarikan sebagai sistem pendidikan yang kelak diterapkan di negerinya.
Berbekal Europeesche Akta, ijasah pendidikan bergengsi yang berhasil diraihnya di Belanda, ia pun merintis lembaga pendidikan bagi kaum pribumi.
Selesai menjalani pembuangan, Soewardi kembali ke Hindia Belanda pada September 1919. Ia pun masuk dalam lembaga pendidikan yang diasuh kerabatnya.
Sekolah pribumi
Pada usia 40 tahun berdasarkan penanggalan Jawa, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Ia memilih tidak lagi menyematkan gelar kebangsawanan Jawanya agar tak berjarak dengan rakyat.
Dengan begitu, ia berharap rakyat jelata bisa lebih nyaman mengikuti pendidikan di Perguruan Tamansiswa yang didirikan pada 3 Juli 1922.
Berkat perjuangannya di bidang pendidikan, hari lahirnya pada 2 Mei diresmikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Dalam mendidik, Perguruan Tamansiswa berfokus agar siswa berbudi pekerti luhur, menganut asas kerakyatan, serta menjunjung tinggi rasa kebangsaan.
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” semboyan itu dihayati Ki Hadjar Dewantara dalam menjalankan sistem pendidikan di Perguruan Nasional Tamansiswa.
Semboyan yang bila diterjemahkan secara ringkas bermakna, “Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan” itu dijadikan acuan para guru Indonesia dalam mendidik siswa.
‘Sang Guru’ bagi para guru
Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok guru bangsa yang berjuang agar anak-anak pribumi memiliki hak yang sama untuk berpendidikan.
Kesetaraan hak setiap manusia dan kemerdekaan untuk mengakses pendidikan diwujudkan lewat perubahan-perubahan yang ia pilih dengan sadar.
Perubahan yang diawali dengan penderitaan karena diasingkan di negeri orang.