Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Benarkah Manusia Tidak Diciptakan Setara?

Kompas.com - 15/05/2018, 10:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

All men are created equal.

Demikian slogan utama humanisme universal. Slogan ini pula yang membangkitkan perjuangan anti-rasisme, feminisme, dan perjuangan hak asasi manusia di seluruh dunia sejak awal abad 20.

Artikel di Slate.com pada 28 September 2014 lalu cukup menggelitik. Salah satu artikel ditulis oleh David M. Hambrick. Profesor di Michigan State University ini juga editor Journal of Experimental Psychology.

Ia menyatakan satu hal yang menurut saya bisa jadi cukup kontroversial. We are not all created equal. Manusia diciptakan tidak setara apabila kita mempertimbangkan faktor genetik sebagai indikator kesuksesan dalam bidang tertentu.

Malcolm Gladwell dalam buku best seller-nya berjudul Outliers menceritakan kisah-kisah inspiratif orang-orang yang sangat sukses.

Menurutnya, semua orang memiliki kesempatan menjadi sukses dalam bidang apapun apabila kita berusaha cukup keras. Gladwell mempopulerkan kaidah “10.000 jam”. Siapapun kalau berusaha cukup keras selama 10.000 jam bisa menguasai  dan sukses di bidang apapun yang ia geluti selama waktu tersebut.

Magnus Carlsen, pecatur muda dari Norwegia, di usianya ke-13 tahun mengalahkan grandmaster catur Rusia, Anatoly Karpov. Pada usia 14 tahun ia melawan pecatur nomor 1 dunia ketika itu, Garry Kasparov. Hasilnya draw.

Pada tahun 2010, di usia ke-19 Magnus menjadi pecatur no.1 dunia hingga kini. Magnus memang mulai belajar catur sejak usia 5 tahun. Kalau dikonversikan, 10.000 jam setelah dikurangi waktu istirahat menjadi kurang lebih 6-7 tahun. Masuk akal bukan?

Tapi pertanyaan berikutnya adalah: Apakah semua orang akan bisa berprestasi seperti Magnus apabila diberikan waktu, kesempatan dan lingkungan belajar yang sama?

Gladwell menerangkan, pada tahun 1993 terbit artikel di jurnal bergengsi Psychologycal Review berjudul “The Role of Deliberate Practice in the Acquisition of Expert Performance” tulisan seorang psikolog dari Swedia, Anders Ericsson.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa keahlian dalam hampir semua bidang bisa dikuasai secara superior oleh siapapun apabila memang sengaja untuk berlatih dalam jangka waktu tertentu.  

Ericsson meneliti para pemain musik. Pemain yang sangat ahli dan sukses berlatih kurang lebih 10.000 jam. Penelitian ini didukung penelitian lain oleh Gobet & Compitelli (2007) pada pemain catur. Pecatur paling ahli dalam subyek penelitiannya berlatih antara 728 jam hingga 16.120 jam.

Penelitian-penelitian ini bertolak dari mazhab psikologi behavioristik yang meyakini bahwa keahlian bisa dibentuk melalui belajar (nurture). Pada awalnya John Locke menduga semua anak lahir seperti kertas putih (tabula rasa). Tugas orangtua dan para gurunya untuk “menuliskan” sesuatu dalam lembaran kertas tersebut.

John Watson, psikolog Amerika pada 1913 sesumbar mengatakan, “beri saya 12 bayi sehat, dengan metode spesifik. Saya akan bentuk mereka menjadi ahli dalam bidang apapun. Sebut saja: dokter, pengacara, insinyur, atau bahkan penjahat profesional.”

Peneliti mazhab ini meyakini Magnus lain bisa diciptakan dengan proses dan prosedur yang terstandarisasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com