Peneliti-peneliti mazhab nurture ini memiliki lawan abadi yaitu para peniliti mazhab nature yang meyakini perkembangan dan proses belajar manusia sangat dipengaruhi oleh tipe sifat, keturunan, dan genetika (nature).
Meta-analisis (meneliti berbagai penelitian yang sudah ada) yang dilakukan oleh Brooke Macnamara (2014), psikolog dari Universitas Princeton menyatakan bahwa efek dari latihan keras untuk menjadi ahli dalam bidang tertentu hanya 26%.
Artinya, latihan keras memang penting, tapi masih ada 74% faktor lain mempengaruhi.
Teori 10,000 jam berlatih memang penting untuk menguasai keahlian tertentu, tapi hanya efektif pada keahlian khusus yang tidak terpengaruh perkembangan zaman. Artinya, kaidah dan peraturannya sangat terstruktur. Seperti catur, sejak awal diciptakan peraturan permainannya tidak mengalami perubahan signifikan. Atau keahlian lain seperti musik klasik.
Pada bidang-bidang lain teori ini menurut para peneliti mazhab “nature” tidak berlaku.
Robert Plomin (2013), psikolog King’s College London dalam penelitiannya terhadap 15.000 pasangan kembar menyatakan ada korelasi kuat dalam keahlian menggambar pada pasangan kembar identik.
Senada dengan penelitian Miriam Mosing (2014), psikolog Swedia pada 10.000 pasangan kembar untuk ketrampilan bermain musik.
Pada 2014 pula Robert Deaner, psikolog Universitas Duke menyatakan bahwa sprinter peraih emas olimpiade seperti Jesse Owen dan Usain Bolt memiliki perbedaan fisik dan genetik dibandingkan sprinter pada umumnya, begitu pula dengan perenang langganan emas Olimpiade seperti Michael Phelps.
Sehingga, sekeras apapun latihan seorang sprinter tetap tidak akan bisa berlari secepat Usain Bolt atau berenang segesit Michael Phelps.
Para peneliti ini meyakini bahwa Magnus Carlsen merupakan individu yang unik. Hampir pasti tidak ada orang lain yang bisa menyamai prestasinya saat ini karena memang keahliannya bawaan lahir.
Lalu kita harus percaya dengan mazhab yang mana? Apa yang musti kita lakukan pada anak-anak kita?
Memberikan usaha dan upaya yang menyeluruh untuk les piano supaya bisa menjadi pemain piano kelas dunia? Atau kita tes dulu inteligensi anak kita? Kalau ternyata IQ (intelligence quotient)-nya “hanya” rata-rata ya kita pasrah saja. Apa boleh buat, anak kita paling pol hanya bisa jadi staf administrasi di sebuah organisasi.
Untuk apa buang uang untuk sekolah tinggi-tinggi? Apalagi menurut penelitian lain yang dilakukan profesor Hambrick, IQ terbukti memprediksi kesuksesan kognitif anak.
Ada beberapa pilihan. Pilihan pertama tidak usah repot. Cukup 'membeo' saja dengan komentar para ahli Barat itu.
Atau pilihan kedua, kita harus berpikir lagi. Hipotesis atau dugaan para peneliti dari dua mazhab yang berlawanan itu harus kita sikapi secara kritis.