KOMPAS.com - Anak saya mengatakan kalau setiap hari Senin sampai Jumat dia selalu menanti-nanti hari Sabtu dan Minggu. "Kenapa?" tanya saya. “Karena aku bisa main sama ayah” katanya.
Memang setiap akhir minggu saya sering diminta berjanji pada anak saya. “Yah, besok Sabtu kita main petak umpet ya.” “Ya,” jawab saya pendek saja. “Janji!” katanya lagi sambil menyodorkan kelingkingnya. Saya diharuskan "bersalam kelingking" sebagai wujud kesungguhan saya akan benar-benar main "petak umpet" di hari Sabtu depan.
Mungkin karena tidak jarang hari Sabtu saya ada pekerjaan, ada keperluan, atau harus melakukan sesuatu. Kalau sudah begitu, anak saya akan mecucu, cemberut. Jadi "janji kelingking" tadi krusial benar bagi anak saya. Padahal ketika itu baru hari Selasa.
Uniknya, setiap minggu. Di antara permainan-permainan kami (saya dan anak saya), seperti
lompat kodok, dakon (yang paling saya suka, karena bisa dilakukan sambil duduk), main sepeda, kejar-kejaran, dan lain-lain, ada satu permainan yang wajib ada, selalu diminta anak saya. Petak-umpet.
Di rumah kami yang mungil itu kita bermain Petak-umpet. Semakin hari saya semakin sulit mencari dimana anak saya sembunyi. Dia semakin mahir sembunyi, bisa di dalam lemari, di kolong mobil, di bawah tumpukan baju, dan tempat-tempat lain yang susah saya duga. Bahkan pernah di luar rumah.
Sebaliknya kalau giliran saya, yang berbadan lebar ini, anak saya semakin hari semakin mudah menemukan saya yang bersembunyi di situ-situ saja. Suatu kali di hari sabtu yang sepoi-sepoi, anak saya giliran sembunyi. Saya yang sebenarnya mengantuk berat, dapat giliran tutup mata sambil tiduran di karpet kamar tamu.
Tiba-tiba badan saya diguncang-guncang sambil kaget “Ayah! Aku udah sembunyi kok nggak dicari siih?!!!” teriak anak saya protes. “What? Lho udah sembunyi?”. Lalu Istri saya muncul sambil cekikikan, ternyata anak saya keluar dari persembunyian karena mendengar dengkuran saya. Saya bukannya mencari, malah ketiduran dan anak saya sudah sembunyi di dalam lemari tertutup hampir setengah jam lamanya.
Dari sudut pandang anak, bermain itu penting. Sama pentingnya dengan bekerja mencari nafkah, atau mengurus rumah tangga dari sudut pandang orang tua. Jadi, permainan-permainan ini juga berperan penting dalam membentuk mental dan kepribadian anak. Termasuk petak-umpet.
Saya sebenarnya memperhatikan, semakin besar, semakin berani pula Ica berlama-lama sembunyi di dalam maupun di luar rumah. Padahal sebelumnya keluar kamar untuk mengambil minum di kulkas saja merengek minta ditemani karena takut ketemu monster.
Saya menduga salah satu efek dari permainan ini membuat anak semakin mandiri dan meningkatkan minat eksplorasi. Mandiri untuk mengambil keputusan, ada banyak tempat untuk sembunyi di area rumah, di dalam maupun di halaman.
Anak harus menentukan dengan cepat, karena waktu terbatas, biasanya maksimum 30 detik. Keberanian juga terbentuk karena anak mau tidak mau harus tidak terlihat, persembunyian makin sempurna bila tempatnya semakin sempit dan semakin gelap.
Dalam jangka waktu tertentu, bisa sampai setengah jam seperti kasus saya ketiduran di atas, anak sendirian di tempat persembunyian, berusaha untuk tidak bergerak dan bersuara supaya semakin susah ditemukan.
Rupanya Shirah Vollmer, profesor psikiatri dari University of California juga setuju dengan dugaan saya. Menurutnya, anak sangat menyukai permainan Petak-umpet karena tiga hal.
Pertama anak ingin bersembunyi mendorong anak untuk lebih otonom, mereka ingin mengeksplorasi lingkungan di sekitarnya dan ingin membuktikan bahwa mereka bisa melakukannya sendiri.
Kedua ketika sudah bersembunyi mereka ingin dicari, ingin ditemukan. Ada perasaan menegangkan, menguji adrenalin ketika lawan bermain mulai mencari-cari dimana dirinya sembunyi. Perasaan senang kemudian muncul ketika ditemukan.