Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Permainan “Dakon”, Perkembangan Anak, dan Ki Hadjar Dewantara

Kompas.com - 24/09/2018, 20:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Permainan anak itulah pendidikan. Pernyataan ini disampaikan Ki Hadjar Dewantara dalam artikel di majalah “Wasita” edisi Oktober 1928. Saya setuju seratus persen. Bahkan hingga saat ini, pernyataan tersebut masih sangat relevan. Seratus persen relevan.

Karena, dunia anak adalah dunia permainan. Semua pelajaran penting meningkatkan kemampuan kognitif, kemampuan sosial, kemampuan spasial (titi pratitis), psikomotor, bahkan moral dapat diajarkan melalui permainan.

Seperti saya sampaikan sebelumnya mengenai anak saya berusia 6 tahun, setiap hari tidak pernah absen mengajak ayahnya bermain. 

Saya dan istri saya memang sengaja meminimalisir interaksi anak dengan layar (screen). Setidaknya sampai usia remaja nanti. Yang saya maksud layar adalah televisi, gadget bisa berupa smartphone, tablet, maupun laptop.

Minimalkan "screen time"

 

Sudah terlalu banyak riset dan penelitian jurnal internasional membahas “screen time” ini dan dampak buruknya bagi perkembangan dan kesehatan anak. Meski tidak sedikit juga konten positif.

Namun menurut kami potensi anak bisa berkembang lebih maksimal apabila interaksi anak dengan orangtua optimal. Tentu saja kami tidak terlalu kaku. Dalam sehari anak diberi ijin menonton televisi maksimal satu jam. Sabtu atau Minggu, anak diperbolehkan mengutak-atik handphone, biasanya melihat youtube, maksimal juga satu jam. Sudah lumayan menurut saya.

Konon Bill Gates saja, membatasi anaknya bermain smartphone. Selebihnya ya bermain bersama adiknya, bersama bundanya, bersama saya, atau melihat buku yang memang kami sediakan perpustakaan pribadi. Mahal? Enggak juga.

Taruhlah kita belikan anak smartphone android, yang standar saja. Misal harga 3-4 juta. Dengan harga sama kita bisa borong 60 buah buku anak, bahkan lebih. Atau satu paket lengkap ensklopedi anak. Sudah bisa disebut perpustakaan anak. 

Permainan "Dakon"

Kembali lagi soal permainan. Dalam artikel saya minggu lalu “Petak Umpet dan Perkembangan Kemandirian Anak”, saya ceritakan bahwa permainan favorit saya dan anak saya adalah “dakon”.

Apa itu dakon? Pada beberapa daerah disebut congkak atau congklak. Anda bisa googling kalau ingin tahu lebih detail. Tapi intinya permainan tradisional ini terdiri dari sebuah papan kayu dengan minimal 14 cekungan kecil dan 2 cekungan besar, serta minimal 98 biji dakon, bisa dari kerikil, biji buah sawo, atau cangkang kerang kecil.

Peraturannya juga sederhana. Biasanya dilakukan 2 pemain. Setelah 14 cekungan diisi masing-masing 7 biji dakon, maka permainan bisa dimulai dengan bergantian mengambil biji tersebut lalu dipindahkan dari cekungan kecil ke cekungan kecil yang lainnya dengan menaruh biji di cekungan besar satu (milik sendiri) dan mengabaikan cekungan besar kedua (milik lawan).

Ketika biji yang diputar berhenti cekungan kosong, putaran berhenti. Giliran lawan yang melakukan putaran, dan seterusnya. Hingga permainan pun berakhir kalau biji yang berjumlah 98 buah itu semuanya telah berada cekungan besar. Pemenang adalah yang memiliki biji terbanyak.

"Dakon" dan konsep hitung dasar

Menurut Ki Hadjar Dewantara, dalam artikel yang sama, permainan dakon bersama cublak-cublak suweng (mungkin lain waktu akan saya tuliskan juga), mendidik kemampuan kognitif anak tentang perngertian perhitungan dan pengiraan.

Menurut saya memang benar, anak saya lebih cepat mengenal konsep konsep hitung dasar (aritmatika) dibandingkan berbahasa. Mungkin salah satunya dipengaruhi seringnya kami bermain dakon.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com