Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Pendampingan Psikologi bagi Korban Gempa dan Tsunami

Kompas.com - 01/10/2018, 13:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Saya ingat betul, jelas sekali meski sudah terjadi 12 tahun lalu. Pagi itu, Sabtu, 27 Mei 2006, saya bangun Pk. 05.30 WIB, lebih pagi dari biasanya karena ada jadwal wawancara di sebuah kampus Pk. 07.00 WIB.

Saya ambil handuk siap-siap mandi, kamar mandi masih dipakai adik yang pagi itu juga masuk sekolah. Tiba-tiba bumi berguncang hebat. Adik saya yang baru selesai mandi langsung teriak, “Lindu! Gempa!” Bapak juga teriak, “Gempa!”

Ibu dan adik ada di lantai bawah langsung lari keluar. Saya bertahan. Di Jogja sering terjadi gempa dan biasanya tidak lama. Saya percaya dengan bangunan rumah kami. Bapak saya lulusan teknik sipil, konsultan pemerintah kota untuk menghitung bangunan tahan gempa.

Tapi kali itu berbeda, 5 detik, 10 detik, 20 detik... Bumi masih terus berguncang.

Saya jadi agak panik, untuk keluar saya merasa sudah terlambat. Ibu dan adik saya pasti sudah sampai tanah lapang sekitar 100 meter di selatan rumah. Mau keluar, di depan rumah ada bangunan kos-kosan dua lantai, sebelah rumah ada dinding rumah tetangga yang tinggi.

Bukannya keluar, saya justru naik ke loteng. Berpegangan pada kolom atau tiang terkuat. Kurang lebih selama 20 detik saya disitu melihat horor secara langsung, rumah-rumah berderak-derak, bangunan runtuh dan genteng berhamburan.

Gempa berhenti. Rupanya dari tadi Bapak mencari-cari saya dan menemukan saya dengan wajah tegang. Saya tidak mendengar sama sekali teriakan-teriakan Bapak. Yang saya dengar hanya suara gemuruh menakutkan.

Pengalaman penyintas gempa

Alhamdulillah rumah saya utuh. Rumah tetangga persis di samping rumah runtuh, bangunan kost di depan rumah genteng berhamburan. Benar dugaan saya, ibu dan adik saya sudah aman di lapangan dekat rumah.

Tanpa pikir panjang, tanpa mandi saya ambil motor. Saat saya telah pastikan keluarga selamat, pikiran saya langsung menuju rumah nenek, kedua nenek saya baik dari Ibu maupun dari Bapak tinggal di kota bagian selatan, berbatasan dengan kabupaten Bantul, pusat gempa.

Horor belum selesai. Di jalan sirine meraung-raung. Korban gempa berlumuran darah dibawa dengan mobil-mobil bak terbuka, bersama tubuh-tubuh kaku yang hanya ditutup kain sarung atau daun pisang.

Orang-orang di jalan berteriak “Tsunami! Tsunami! Air sudah sampai tugu jogja!” Saya tidak percaya sama sekali. Kalau sampai tugu berarti rumah nenek sudah habis. Rumah-rumah hancur. Kampus tempat saya wawancara pagi itu juga sudah runtuh.

Mayat-mayat tertutup terpal ditaruh di tepi jalan. Pikiran saya makin tidak karuan. Rumah nenek saya keduanya utuh, mereka selamat tapi rupanya sudah mengungsi. Rumah kosong. Alhamdulillah, saya mengucap syukur berkali-kali. Siang itu ketegangan saya berkurang. Saya lalu menjadi relawan dadakan sampai beberapa minggu setelah gempa.

Sampai detik ini, saya masih berdebar-debar kalau merasakan gempa meskipun getarannya sangat kecil. Saya tetap bisa merasakan.

Mengguncang jiwa seseorang

Para penyintas bencana alam sebagian besar tidak akan bisa melupakan apa yang terjadi, yang dilihat, didengar, dirasakan ketika bencana terjadi. Saya mengalami langsung kengerian gempa Jogja bulan Mei 2006 yang menewaskan 6.234 orang dan letusan gunung merapi bulan Desember bulan Oktober 2010 yang mengambil nyawa 353 orang, termasuk paman dari pihak istri saya.  

Ingatan dan sensasinya akan terus menempel dan menghantui. Mungkin seumur hidup. Situasi ini apabila tidak diatasi akan menimbulkan stress. Kalau gejala makin parah, penyintas akan mengalami gangguan psikologis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau