Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/10/2018, 20:14 WIB

KOMPAS.com - Lembaga Riset Internasional McKinsey Global Institute memprediksi Indonesia menjadi dengan kekuatan ekonomi nomor 7 di dunia pada tahun 2030 setelah China, Amerika Serikat, India, Jepang dan Brasil dan Rusia.

Hal ini karena Indonesia memiliki pasar domestik sangat luas, sumber daya kaya dan bonus demografi yang akan dinikmati 10 tahun yang akan datang. Namun demikian, Indonesia perlu memastikan tenaga kerja Indonesia memiliki daya saing dengan kompetensi abad 21.

Tantangan menyiapkan lulusan berkompetensi global ini menjadi topik dalam diskusi antara Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Asian Development Bank (ADB) melalui program PEDP (Polytechnic Education Development Project) dan Badan Nasional Sertifikat Profesi (BNSP) di Jakarta, 22 Oktober 2018.

Diskusi menghadirkan pembicara utama, dari setiap lembaga yakni; Paristiyanti Nurwandi (Direktur Pembelajaran Kemenristekdikti), Sutarum Wiryono (Senior Project Officer Education) dan Sumarna Abdurahman (Ketua BNSP).

Tantangan bonus demografi

"Bila ingin mencapai impian tersebut, kita harus menyiapkan setidaknya 115 juta tenaga kerja terampil di tahun 2030. Itu artinya kita harus mampu mencetak setidaknya 2 juta tenaga terampil setiap tahunnya," ungkap Paristiyanti Nurwandi.

Baca juga: 50 Tahun ATMI Surakarta, Kobarkan Api Vokasi

Padahal, lanjut Paristiyanti, politeknik kita saat ini baru mampu menghasilkan lulusan sebanyak 200 ribu orang setiap tahun. "Pendidikan tinggi hanya menghasilkan 1,5 juta lulusan pertahun," tambah Paristiyanti.

Tantangan lain, menurut Sumarna Abdulrahman, masih belum sinerginya dunia pendidikan dan dunia industri khususnya dalam standar kompetensi dan sertifikasi sebagai 'senjata' menghadapi persaingan internasional.

"Tiga pilar kompetensi, diklat dan sertifikasi masih belum memiliki pondasi yang kuat dalam fasilitas, koordinasi dan pengakuan atau rekognasi," jelas ketua BNSP ini.

Lebih jauh Samarna menyampaikan, 30% kurikulum kompetensi kita telah kadaluarsa dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dunia industri. Sebaliknya, dari sisi industri yang biasa diwakili asosiasi kerja masih belum mampu membuat standar dan kurikulum yang betul-betul dibutuhkan bidangnya.

"Akibatnya, banyak serfitikasi kompetensi dan profesi justru tidak mendapat pengakuan industri karena lulusan yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Permasalahan ini menjadi soal 'ayam dan telur' untuk menyelesaikan soal sistem kualifikasi dan sertifikasi," tegasnya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+