Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Sebuah Refleksi tentang Pendidikan Tinggi Australia dan Indonesia

Kompas.com - 08/01/2019, 11:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sistem hafal mati hanyalah itu, ilmu dihafal kemudian "mati". Selain itu, dapat dipertanyakan bagaimana kiita dapat menghasilkan karya ilmiah yang dimuat di jurnal ternama jika banyak calon akademisi tidak terlatih sejak dini berpikir kritis dan berargumen originil.

Anti-pelecehan seksual

Pada Agustus 2017 lalu, Australian Human Rights Commission (Komnas HAM Australia) menerbitkan laporan mengenai kekerasan dan pelecehan seksual di kampus-kampus Australia.

Hasilnya sungguh memprihatinkan. Satu dari lima murid universitas di Australia melaporkan bahwa mereka dilecehkan secara seksual di dalam kampus sepanjang tahun 2016. Mahasiswi dua kali lipat lebih mungkin untuk mengalami pelecehan seksual dan 3 kali lipat lebih mungkin untuk mengalami penyerangan seksual dibandingkan mahasiswa.

Pelajar internasional juga tidaklah luput dari tindakan ini. Sebanyak 22 persen melaporkan bahwa mereka pernah dilecehkan secara seksual di Negeri Kanguru.

Saya yang ketika itu masih pelajar program persiapan untuk masuk ke ANU, kaget mendengar statistik ini.

Kekagetan berubah menjadi rasa malu dan kecewa ketika saya mendengar bahwa ANU (bersama Bond University) menduduki peringkat satu dalam persentase keseluruhan responden yang mengalami pelecehan seksual di setting universitas atau sekitar 38 persen.

Belakangan ini saya juga menaruh perhatian pada kasus pelecehan seksual seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada. Melihat perkembangan kasus tersebut dan diskursus yang mengitarinya, saya prihatin tapi tidak terkejut.

Ini karena hal-hal seperti kultur victim-blaming sampai sistem pelaporan yang tidak cukup, juga hadir di kasus pelecehan seksual seperti halnya di ANU.

Menciptakan sistem untuk meniadakan kekerasan dan pelecehan seksual di universitas akan sulit, tetapi mengubah budaya akan jauh lebih penting.

Saya berharap, kita sampai pada budaya di mana tidak ada lagi upaya menyalahkan atau menyepelekan korban pelecehan dan kekerasan seksual, baik wanita maupun pria.

Budaya yang kita bisa berkata kepada mereka, "We hear you, we believe you, we are here for you" dan lebih penting lagi "How can we really help?" sehingga semakin banyak korban lain yang berani bersuara.

Saya masih akan menempuh 4 tahun lagi pendidikan di Australia. Perjalanan masih panjang. Namun, saya tak ragu bahwa pengalaman dan pemahaman saya akan terus berkembang karena satu tahun ini telah mengajarkan saya banyak hal.

Penulis: Kevin Marco Tanaya
Mahasiswa program Flexible Double Degree (Law & Politics, Philosophy and Economics) The Australian National University, Australia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com