Kisah Warsiah dan 5 Metode Kepala Sekolah Bimbing Siswa Membaca

Kompas.com - 27/02/2019, 18:22 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Warsiah merupakan Kepala SDN 013 Desa Bulu Perindu, Kecamatan Tanjung Selor, Kalimantan Utara. Ia dan para guru menerima laporan ada siswa dari tamatan sekolahnya tidak lancar membaca saat duduk di bangku SMP.

Setelah diidentifikasi, ternyata memang ada beberapa siswa di kelas empat, lima, dan enam sekolahnya tidak bisa membaca dengan lancar.

Mengatasi masalah tersebut, sang kepala sekolah, yang juga fasilitator program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) di Kabupaten Bulungan, kemudian mengembangkan layanan atau bimbingan khusus dengan mulai melakukan indentifikasi siswa yang tidak bisa membaca di tingkat SD kelas tinggi tersebut.             

1. Observasi lewat buku cerita 

”Biasanya saya masuk ke kelas lalu mengantikan guru pada waktu tertentu. Lalu saya lakukan tes kepada tiap siswa untuk membaca satu per satu. Caranya, saya meminta mereka untuk membaca buku. Dulu, saya menggunakan buku teks pembelajaran untuk menguji kemampuan membaca mereka. Sekarang, saya menggunakan buku cerita," Warsiah mengisahkan melalui rilis yang diterima Kompas.com (26/2/2019).

Baca juga: Perayaan Bangkitnya Literasi Baca Indonesia

Tes ini dilakukan berkali-kali sampai ia yakin anak tersebut memang mengalami hambatan belajar karena tidak lancar membaca. Biasanya, Warsiah membutuhkan waktu sampai dua minggu untuk melakukan observasi.

Menurut Warsiah, anak-anak tidak lancar membaca biasanya menunjukkan tanda-tanda khusus. Misalnya, jika diminta membaca sebuah kalimat, anak akan lama sekali mengeja satu kata atau menyebut huruf secara tidak teratur.

Mereka bahkan tidak mengetahui konteks bacaan dan tidak mampu menunjukkan kata dieja atau tak jarang mengeja kata yang tidak diminta untuk dibaca. "Hal-hal tersebut disebabkan anak menghafal kata, sehingga ketika diminta membaca kata yang lainnya, mereka tidak mampu," jelasnya.

2. Pengelompokan masalah membaca

“Setelah proses observasi, maka anak tersebut akan saya pisahkan dari kelompoknya. Saya minta kepada guru agar anak tersebut tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran untuk sementara waktu," lanjut Warsiah.

Menurutnya, jika tidak bisa membaca maka anak tidak mampu menangkap materi diajarkan. Selain itu, anak tidak lancar membaca jika dipaksa ikut pembelajaran maka tidak akan bermanfaat.

Sebaliknya, anak malah semakin tertekan. "Anak-anak ini diberikan layanan atau bimbingan khusus agar mereka cepat bisa membaca. Dengan cara ini mereka masih bisa mengejar ketertinggalan dari teman-temannya,” kata Warsiah.

Anak-anak tidak bisa membaca kemudian akan dikelompokkan. Sedangkan anak tidak bisa mengeja, dengan anak tidak lancar membaca juga akan dipisahkan. Mereka akan ditangani dengan cara berbeda karena akan tidak efektif jika mereka berada dalam satu kelompok.

3. Dari kartu baca ke buku besar

Di sini anak tidak bisa mengeja diberikan layanan atau bimbingan khusus dengan mulai memperkenalkan huruf, yaitu dengan menggunakan kartu huruf dan kartu kata. Biasanya, setelah satu minggu anak dibimbing secara khusus, mereka sudah bisa mengenali huruf.

Sesudah anak bisa mengenal huruf, kegiatan selanjutnya adalah mengajari anak mengenal bunyi huruf sekaligus membunyikannya. Menurut Warsiah, secara keseluruhan butuh dua minggu agar anak bisa mengenal bunyi huruf.

“Jika anak telah mampu mengenal huruf dan bunyi, materi saya lanjutkan dengan memperkenalkan kata. Saya memulainya dengan memperkenalkan gabungan dua suku kata yang memiliki arti. Misalnya ‘bo’ dan ‘la’, jika digabung menjadi bola. Atau ‘ka’ dan ‘ki’, yang digabung menjadi kaki. Proses ini butuh waktu 1,5 bulan,” jelasnya.

Ketika mereka sudah lancar mengenal dua suku kata, baru dilanjutkan menggunakan buku bacaan dan mengajak mereka membaca buku cerita bergambar. Penggunaan gambar membantu anak mengetahui makna cerita.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau