KOMPAS.com - Nodeflux, Perusahaan Vision AI di Indonesia menggelar acara Nodeflux BEYOND dengan tema “AI Fostering Greater Good and Beyond” di Kemang Timur, Jakarta (30/4/2019).
Acara ini bertujuan merangkul berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong perkembangan perekonomian dan implementasi teknologi agar tercipta ekosistem berbasis Artificial Intelligence (AI) di Indonesia hingga semakin memajukan Indonesia di kancah global.
Dalam gelaran ini, Nodeflux memberikan pandangan bagaimana implementasi Intelligent Video Analytics (IVA) dimanfaatkan untuk memberikan solusi dari sektor pemerintahan, industri, hingga pendidikan.
Acara menghadirkan beberapa narasumber di antaranya: Faris Rahman (CTO Nodeflux), Bens Pardamean (Head of NVidia- Binus AI RnD Center) serta Alex Siahaan (Kasatpel Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Jakarta Smart City).
"Kita masih melakukan adopsi AI di Indonesia. Masih belum terlalu banyak jika dibandingkan di US, China atau Singapura. Singapura telah cukup banyak menghasilkan startup berbasis AI ini," ujar Faris CTO Nodeflux kepada Kompas.com.
Baca juga: Mochtar Riady: AI & Big Data Kunci Pendidikan di Era Revolusi 4.0
Faris kemudian menjelaskan tugas besar saat ini adalah bagaimana membuat masyarakat, akademisi, industri hingga pemerintahan menggunakan teknologi kecerdasan buatan ini secara mandiri sehingga membentuk dan menumbuhkan ekosistem AI di Indonesia.
"Kita sudah melihat bagaimana teknologi ini telah mulai banyak digunakan, termasuk di Indonesia. Laporan Forrester Consulting menunjukan ternyata antusiasme adopsi teknologi AI di Indonesia cukup tinggi dari China dan Singapura," ujar Faris.
Terkait hal itu, pengguna internet Indonesia yang cukup tinggi telah cukup menjadi pilar sebagai masuknya teknologi lain mulai dari robotik, mahadata, hingga kecerdasan buatan.
Faris menyampaikan pihaknya telah mulai melakukan kolaborasi dengan dunia pendidikan tinggi dalam menyiapkan SDM bidang AI mulai dari kerja sama riset, edukasi metodologi baru AI, hingga bersama-sama pendidikan tinggi menyelesaikan masalah-masalah industri.
Faris tidak memungkiri teknologi AI atau kecerdasan buatan ibarat dua mata pisau yang memiliki dampak disrupsi namun sekaligus membuka banyak kemungkinan di masa mendatang.
"Satu sisi menghilangkan pekerjaan lama, namun di sisi lain membuka banyak lapangan pekerjaan baru. Manusia justru banyak menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru. Tugasnya kini bagaimana membuat AI membawa dampak positif dalam masyarakat," tegas Faris.
Ia menambahkan, "Kita tidak bisa menolak perubahan, yang kita bisa lakukan adalah bagaimana membuat perubahan perubahan itu memiliki dampak dan nilai positif."
Hal senada disampaikan Bens Pardamean Kepala Pusat Riset AI Universitas Bina Nusantara. "Teknologi selalu diindetikan dengan penghapusan tenaga kerja. Tugas pemerintah dan pendidikan tinggi adalah menyiapkan hal itu, agar menyiapkan lulusan siap menghadapi hal itu," ujar Bens.
AI atau kecerdasan buatan justru harus membuat manusia nantinya menjadi 'master' dari teknologi dan sistem yang akan dibuat ini. Ia meyakini AI justru memosisikan manusia tidak lagi menjadi buruh atau budak teknologi namun justru menempatkan manusia dalam posisi sebagai penguasa teknologi itu sendiri.