Ilmuwan Diaspora: Kebijakan Negara Harus Berbasis Bukti Data

Kompas.com - 26/08/2019, 17:14 WIB
Erwin Hutapea,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi


KOMPAS.com - Rangkaian acara Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) 2019 bertema "Bangkit dan Bersinergi" yang digelar Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah berlangsung pada 18-25 Agustus 2019 di Jakarta.

Perhelatan menghadirkan ilmuwan diaspora yang selama ini tersebar di berbagai negara untuk membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman mereka sebagai ilmuwan yang bekerja di luar negeri.

Kehadiran mereka diharapkan bisa memberikan kontribusi nyata bagi bangsa Indonesia, termasuk dalam akselerasi dan transfer keilmuan, serta pengembangan dalam penelitian yang berguna agar mendapatkan hasil bermanfaat bagi negara.

Dalam paparannya, Bagus Putra Muljadi asisten profesor Departemen Teknik Kimia dan Lingkungan, University of Nottingham mengatakan seiring dengan perkembangan zaman ilmuwan diaspora menginginkan pemerintah menghasilkan kebijakan berbasis pada bukti data dan melibatkan perguruan tinggi dalam mengembangkan teknologi.

Baca juga: Wujudkan Manajemen Talenta, Pemerintah Himpun Kekuatan Diaspora

“Kami rindu agar kebijakan negara ini bersandar pada evidence, didasari fakta. Kami ingin agar universitas-universitas di negeri ini jadi mercusuar penggerak bangsa dan jadi ujung tombak pengembangan teknologi mutakhir,” ujar Bagus dalam SCKD 2019 di Jakarta, Jumat (23/8/2019).

Perekonomian berbasis teknologi

Dia menuturkan, diaspora juga harus dilibatkan karena memiliki sumber daya mumpuni, bahkan sangat dihormati dan berpengaruh di negara tempat mereka berkarya selama bertahun-tahun.

Sebagai contoh, Hutomo Suryo Wasisto yang memimpin kelompok riset besar di Technische Universitat Braunschweig, Jerman. Ada pula Sastia Prama Putri, asisten profesor di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University, yang berjuang di tengah dominasi ilmuwan pria di sana.

“Di sini hadir para diaspora yang sangat berpengaruh di negara masing-masing tempatnya bekerja. Mereka masih muda dan sangat dihormati,” imbuh Bagus.

Dia menjelaskan, saat ini telah terjadi perubahan dari sistem perekonomian berbasis bahan baku menjadi sistem yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam transisinya, sangat penting bagi sumber daya manusia Indonesia untuk menguasai teknologi, mengembangkan jaringan internasional, dan melakukan kolaborasi.

Menurut Bagus, simposium ini menjadi ajang untuk membangun kembali persahabatan dengan saudara-saudara di Tanah Air yang bertahun-tahun kurang terjalin baik.

“Kami merasakan kehadiran negara dalam kehidupan. Dulu gedung-gedung negara terasa dingin dan tidak terjangkau, sekarang kami sudah dikunjungi. Simposium ini bukan hanya ingar-bingar hingga larut malam, layaknya kembang api. Ini adalah upaya untuk meningkatkan iklim akademis bangsa,” jelasnya.

Dampak positif nyata

Sebelumnya, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, pihaknya menginginkan agar acara semacam ini tidak hanya bersifat seremonial, tetapi ada pengaruhnya secara langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Kita tidak ingin acara diaspora ini seperti kembang api, menyala sebentar setelah itu redup. Tapi seharusnya terencana, sistematik, berkelanjutan, dan terukur,” ucap Ali Ghufron.

Dia mengharapkan hasil dari rangkaian acara dalam simposium ini memiliki dampak positif yang bisa dirasakan secara nyata oleh masayarakat di Tanah Air.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau