KOMPAS.com -Sastia Prama Putri merupakan peneliti perempuan diaspora Indonesia yang menjadi salah satu sorotan pada Simposium Cendikia Kelas Dunia 2019. Di Jepang, jumlah peneliti perempuan hanya 10,6 persen dari jumlah peneliti, dan hebatnya Sastia mampu menempatkan satu di antaranya.
Selain ilmuwan, Sastia saat ini menjabat asisten profesor di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik Osaka University. Hal ini menempatkan dirinya menjadi salah satu cendikia Indonesia kelas dunia.
"Riset bukan hal yang mudah, dan kegagalan merupakan bagian darinya. Kita harus memiliki mental kuat untuk menjadi peneliti dan semangat positif setiap waktu. Terutama peneliti perempuan, harus ekstra lebih tanggung untuk mendapat perhatian dan pengakuan," tegas Sastia dalam wawancara kepada Kompas.com di sela-sela Simposium Cendikia Kelas Dunia di Jakarta (22/8/2019).
Ditambah lagi, peneliti perempuan sering kali harus menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu. "Full time mother, full time scientist," ujar Sastia yang telah mengenalkan Aisha, puterinya, pada dunia penelitian sejak usia dini.
Merintis karir hingga menjadi pemimpin grup aplikasi metabolomik untuk produksi biofuel dan produk pangan khas Indonesia dan sekaligus menjadi ilmuwan dan dosen luar biasa di Institut Teknologi Bandung bukanlah raihan prestasi yang dapat dicapai dalam semalam.
Sastia mengawali perjalanan karirnya dengan menyabet gelar sarjana di bidang Biologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2000.
Seusai kuliah, ia lolos program research fellowship bidang Biotechnology dari UNESCO tahun 2004 selama setahun di Jepang bersama Profesor Nihira di Osaka University. Melihat kinerja dan potensi dari Sastia, sang profesor pun menawarkan program beasiswa full dari pemerintah Jepang agar Sastia memeroleh gelar S2 dan S3.
Baca juga: Diaspora Talk 2019: Kekuatan Ngobrol Berbagi Inspirasi
Awalnya tidak terbesit keinginan Sastia melanjutkan studi apalagi menjadi ilmuwan. Sastia justru menemukan panggilan hidupnya sebagai ilmuwan setelah merasakan suasana dan pengalaman riset yang sangat mendukung dan membuahkan hasil di Jepang.
Setelah pulang dari programnya, Sastia menyempatkan diri menjadi asisten laboratorium di Swiss German University tahun 2005 sampai akhirnya dirinya menerima kabar lolos program beasiswa yang sebelumnya ditawarkan pada dirinya.
Riset yang dilakukan berjalan mulus, Sastia berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya lebih awal dari yang diprediksikan. Jenjang S2 dan S3 yang seharusnya ditempuh dalam 5 tahun, Sastia sabet dalam kurun waktu 3,5 tahun dan menjadikannya lulusan pertama memeroleh gelar PhD dalam waktu 1,5 tahun dalam Frontier Biotechnology Program.
Setelah lulus, Sastia menerima tawaran pembimbingnya menjadi peneliti paruh waktu di Institusi tersebut di bawah naungan Profesor Eiichiro Fukusaki yang juga salah seorang pionir metabolomik Ilmu Pangan. Dalam satu tahun, Sastia pun menerima tawaran menjadi peneliti penuh waktu dalam proyek kerjasama Jepang dan Amerika Serikat.
Menjelang persiapan kelulusan gelar S3, kesibukannya yang terfokus dalam menyusun disertasi dan tugas akhir diwarnai dengan kondisinya yang tengah mengandung. Sang profesor pun menawarkan dirinya agar fokus beristirahat hingga melahirkan kemudian melanjutkan sidangnya sebulan setelah melahirkan.
Alih-alih mengikuti petunjuk, Sastia memilih maju terus hingga sidang agar konsentrasinya tidak terpecah dan jadwal sidangnya pun dipercepat. Saat kehamilannya berumur 8,5 bulan, Sastia diumumkan lulus sidang akhir.
“Energi sudah minimal, namun berjuang saja sampai akhir,” pungkas Sastia yang melahirkan dengan selamat seminggu sesudah sidang.
Sastia yang baru selesai persalinan kemudian dihadapkan pada dilema; pulang ke Indonesia, atau bekerja di Jepang.