Refleksi Hari Guru: Pengabaian di Ruang-ruang Kelas Kita

Kompas.com - 24/11/2019, 20:00 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

KOMPAS.com - Elie Wiesel, salah satu korban kejahatan kemanusian Nazi Jerman berkisah tentang bahaya pengabaian di depan Presiden Clinton dan anggota Kongres.

“Merasa ditinggalkan oleh Tuhan lebih buruk ketimbang dihukum oleh-Nya. Lebih baik memiliki Tuhan yang tidak adil daripada Tuhan yang tidak peduli. Diabaikan oleh Tuhan adalah sebuah hukuman yang lebih berat daripada menjadi sasaran amuk amarah”.

Pidato Wiesel ini saya baca di sudut ruangan guru yang disekat kemudian dinamai perpustakaan sekolah. Mungkin saja, suasana perpustakaan yang saya tempati adalah kabar buruk bagi para pegiat literasi hari ini.

Kabar baiknya, menyiapkan bacaan sebagus itu, telah menyelamatkan kepala sekolahku dari dosa-dosa pengabaian. Konon kabarnya, di hari akhir nanti, salah satu satu pertanyaan mendalam terkait dosa-dosa pengabaian. Kawan-kawan, berhatilah-hatilah.

Tidak melakukan apa-apa

Begini... Wiesel menemukan ada tiga kelompok yang terus menerus diproduksi oleh lingkungan. Oleh kita semua.

Baca juga: Jelang Hari Guru Nasional, Ini 5 Pesan Penting Mendikbud Nadiem bagi Guru

Kelompok pertama adalah mereka para pembunuh yang siap memangsa setiap waktu. Kelompok kedua diisi oleh para korban yang tidak berdaya. Karena tidak berdaya, empuk jadi mangsa. Kelompok terakhir adalah para penonton yang tidak melakukan apa-apa.

Ketiganya menjadi peran atau bahkan lebih jauh tumbuh sebagai cita-cita.

Jika anda bertanya pada murid-murid tentang cita-cita mereka, mungkin akan menyebut salah satu pekerjaan yang banyak ditekuni orang dewasa hari ini. Menjadi pilot, guru, dokter atau mungkin menjadi pembesar negara.

Cita-cita itu pun tumbuh dengan perannya masing-masing. Kerap kita menyaksikan bagaimana pilot menjadi pembunuh, atau guru yang terbunuh atau pembesar negara yang senang menonton.

Nah, dari ketiga peran tersebut, kata Wiesel, kelompok terakhirlah yang paling banyak diproduksi sekaligus menjadi kelompok paling berbahaya. Membunuh atau dibunuh karena keberadaan kelompok ketiga.

Kita, cenderung membiarkan atau mengabaikan, tumbuh dengan peran sebagai penonton.

Pengabaian di ruang pendidikan

Bagaimana jika ‘Model Wisel’ ini kita bawa masuk ke unit pendidikan?

Sebutlah dia Mawar. Tentu saja nama samaran. Perilakunya baik-baik saja seperti yang lain. Nilainya cukup bagus. Tidak ada yang aneh. Menjelang semester, dikabarkan akan menikah karena hamil. Harus berhenti sekolah karena penyebab aib bagi keluarganya.

Setelah ditelusuri, didapatkan beberapa data: bercita-cita menjadi pramugari. Pulang sekolah bekerja di salon kecantikan. Ayahnya meninggal tiga tahun lalu. Ibunya menikah lagi. Saat ini, tinggal bersama neneknya. Naas, hubungan kurang harmonis dengan tantenya.

Rafi. Juga samaran. Laki-laki. Setelah direkapitulasi, kehadirannya kurang dari 70 persen. Nilai tidak tuntas sampai batas waktu yang ditentukan. Tidak bersyarat naik tingkatan berikutnya. Memutuskan berhenti sekolah. Berikut data-datanya: kedua orang tua berpisah. Ayahnya pelaut.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau