Anak-anak di sekolah-sekolah mereka disiapkan menjadi penakluk masa depan. Bukan sekedar penyintas.
Mereka dari awal disiapkan untuk ikut berimajinasi tentang masa depan seperti apa yang mereka lihat melalui mata mereka yang masih polos dan jernih dari apriori.
Vincent misalnya, dalam usia masih sangat muda sudah menjadi co-author sebuah buku antologi cerpen yang ia tulis dalam bahasa Inggris.
Setiap tahun ia menjadi langganan juara di sekolahnya. Begitu pula Steven, di sekolahnya kawasan Tangerang Selatan, ia menjadi salah satu lulusan terbaik. Tak beda jauh dengan Albert yang berasal dari Jakarta.
Mereka bertiga sudah diseleksi oleh alam untuk menjadi benih yang ditabur pemerintah Singapura melalui MOE untuk melebur bersama anak-anak lokal di sana dan turut berimajinasi dunia seperti apa yang diinginkan dunia di masa mendatang?
Tidakkah kita di sini menginginkan hal yang sama?
Di bilangan Tangerang Selatan saya sering melewati gerbang sebuah sekolah yang sangat besar dengan tulisan, "Educatio Puerilis Renovatio Mundi Est" yang kira-kira artinya seperti ini: Pendidikan bagi anak-anak muda (bisa) mengubah dunia.
Saya sangat suka motto ini.
Untuk mengubah dunia, kita harus didik dan latih anak-anak muda kita. Merekalah masa depan dunia, sebagaimana dua puluh atau tiga puluh tahun lalu kita adalah masa depan dunia bagi orang tua-orang tua kita.
Pendidikan hafalan memang tidak bisa dihilangkan. Beberapa ilmu sains menuntut beberapa macam hafalan, seperti menghafal rumus hitungan atau tabel periodik kimia.
Namun memaksakan pelajaran hafalan untuk sekedar hafal tak akan efektif mentransformasi dunia.
Hafalan dengan tujuan seperti ini, kita tak butuhkan lagi. Anak-anak muda di Singapura tak ditanya dalam ulangan di kelas mereka soal tanggal berapa Lee Kuan Yew meninggal.
Mereka akan ditanya siapakah Lee Kuan Yew itu dan mengapa ia penting bagi sejarah bangsa dan negara Singapura? Hmm, saya bahkan tidak ingat tanggal berapa nenek saya meninggal, padahal beliau sangat penting dalam kehidupan saya.
Kembali ke ruang induksi bagi para siswa Indonesia di Singapura tadi, bahkan sejak awal mereka sudah dibantu untuk mengenali preferensi sekaligus potensi kemampuan akademik, serta strategi riil bagaimana mereka akan menggapainya.
Meski di Indonesia hal seperti ini sudah mulai terstruktur, tetapi logikanya belum disebarluaskan untuk dipahami para orang tuasiswa.
Misalnya saja, dalam dua tahun ke depan, para siswa dan orangtua mereka diberi paparan bila ingin studi life science, mereka harus mengambil penekanan pada kimia dan biologi. Bila ingin masuk studi engineering, mereka harus mengambil kimia dan fisika.
Dengan begitu pelajaran kimia adalah mandatory. Bagaimana dengan matematika? Ini pondasi penting di kurikulum Primary dan Secondary school di Singapura, dan itu menjawab pertanyaan mengapa Singapura unggul di tiga bidang: matematika, sains dan reading itu tadi.
Nilai matematika tak boleh jelek.
Reading. Ada apa dengan membaca? Mengapa penting?
Tidakkah pembaca ingat beberapa abad lalu Eropa dan bahkan Timur Jauh serta Timur Tengah membangun peradaban dengan beberapa strategi spesifik, dan salah satunya tulisan yang di buat dalam bentuk perkamen, manuskrip, lembaran-lembaran tulisan dari bahan serat pohon papirus dan lainnya?