Critical thinking, creativity, problem solving merupakan bagian dari personal skills, sedangkan communication, collaboration, empathy merupakan bagian dari social skills.
Adapun confident dan empathy lebih merupakan karakter.
Namun perlu dicatat, karakter semestinya tidak hanya terkait dengan baik terhadap orang lain, seperti jujur, sabar, suka menolong dan sejenisnya, tetapi juga kerja keras, tangguh dan pantang menyerah (grit), yang menurut penelitian Angela Duckworth (2016) merupakan kunci kesuksesan dalam kehidupan.
Lantas, apa hubungannya dengan konten dan karakter? Untuk membahasnya, saya ingin mengajukan pertanyaan, ketika pesepak bola dari klub Barcelona, Lionel Messi, sukses membuat gol, kemampuan apa yang diterapkan?
Saya yakin dia memerlukan critical thinking untuk memahami situasi lapangan saat itu, creativity untuk menemukan posisi tembak yang paling ideal.
Dia juga harus memiliki keterampilan menggiring bola dan menembakkan ke gawang lawan.
Inilah konten yang dimiliki oleh Messi dalam bermain bola. Messi pasti juga memiliki karakter hebat, misalnya kerja keras, pantang menyerah, tidak emosi walaupun diganjal lawan dan sebagainya.
Jadi performa hebat Messi dalam bermain bola, didukung oleh kompetensi, konten dan karakter. Performa adalah interseksi antara ketika aspek tersebut.
Pola ini tentu tidak hanya berlaku pada pemain bola, tetapi juga profesi lain, misalnya insinyur, dokter dan guru.
Performa akan maksimal jika ditunjang oleh ketiga aspek tersebut secara proporsional, sesuai dengan karateristik tugas yang dihadapi seseorang.
Yang pasti tidak mungkin performa akan baik kalau salah satu dari aspek tersebut tidak ada. Dengan kata lain, ketiga aspek terebut diperlukan, sehingga harus ditumbuhkembangkan dalam pendidikan.
Dalam konteks pendidikan, ketiganya tidak dapat dilepaskan. Sepertinya pesan Ki Hajar Dewantara pengembangan aspek intelektual, karakter, dan raga tidak dapat dipisahkan agar anak kita tumbuh dengan sempurna.
Konten dapat diibaratkan sebagai wahana, sedangkan kompetensi dan karakter sebagai isi. Wahana, dalam konteks pendidikan, dapat berupa matapelajaran, tugas, proyek dan sejenisnya.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana menumbuhkan critical thinking tanpa wahana, misalnya magnet dalam IPA atau Perang Diporegoro dalam IPS.