KOMPAS.com - Tentu saja bisa. AI (artificial intelligence) memang ber-evolusi. Tapi bukankah inteligensia serta kebijaksanaan kita juga ber-evolusi? Oh, Tidak?
Tunggu dulu. Berbicara soal AI itu luas sekali: AI yang mana? Anda harus benar-benar memikirkannya sampai anda paham apa yang anda ‘serahkan’ (baca: surender) pada sebuah algoritma AI dalam produk tertentu untuk membantu anda menjalani hidup sehari-hari, baik sebagai profesional di kantor, sebagai pribadi di asosiasi dan komunitas, bahkan sebagai bagian dari keluarga di rumah tangga anda.
Mari saya bercerita sejenak.
Dulu sutradara besar Stephen Spielberg menyuguhkan tontonan luar biasa futuristik melalui film A.I. (2001).
Dalam film itu saya selalu memikirkannya begini, apakah Spielberg terlalu lebay memasukkan unsur emosi ke dalam manusia buatan (humanoid) di dalam film itu?
Kebimbangan itu bertahan untuk waktu yang cukup lama, apalagi dalam berbagai kesempatan saya menontonnya beberapa kali lagi melalui TV Cable di tahun-tahun setelah itu.
Tak lama kemudian tayanglah film-film serupa seperti Ex Machina (2014), Chappie (2015) dan Ghost in The Shell (2017).
Tema keempat film itu adalah konsepsi inteligensia buatan yang sangat masuk akal untuk disebut “coming soon” dalam dunia nyata sehari-hari kita pada waktu itu.
Ada sebuah proses dinamika emosi - yang ‘being exercised’ - oleh mesin-mesin cerdas itu, seolah mereka memiliki kesadaran sendiri akan siapa atau apa mereka; bukan manusia, tapi mereka memiliki kesadaran bebas.
Setahun setelah peluncuran film Ghost in The Shell (2017) yang dibintangi si cantik Scarlett Johansson, saya kumpulkan berita-berita yang muncul sebagai serial studi yang lebih serius namun membumi tentang AI.
Berita-berita itu tayang dalam sekuens yang menurut saya ‘bukan kebetulan’ membahas misteri teknologi AI ini. Semua berita itu muncul di pertengahan tahun 2018, dan semuanya terkait dengan sains.
BBC melalui Technology Report yang disampaikan oleh Marianne Lehnis pada pertengahan Juni 2018 mengajak masyarakat mempertanyakan sekali lagi, apakah sebenarnya masyarakat pemakai teknologi AI ingin tahu bagaimana cara mesin AI bekerja dan membuat sebuah ‘keputusan’, ataukah mereka tidak peduli bagaimana algoritma mesin AI bekerja sampai menghasilkan suatu output (keputusan, rekomendasi, angka-angka, dan lain lain)?
Sebulan setelah itu, di pertengahan Juli 2018, portal AdWeek melalui analisisnya, Ben Lamm, memaparkan bagaimana program komputer yang diperkuat mesin AI telah secara efektif dan efisien memberikan rekomendasi serta mengelola penjualan serta aktivitas pemasaran di berbagai perusahaan di dunia.
Dengan kata lain, AI telah secara ‘sukarela’ diterima sebagai pemberi saran atau rekomendasi yang lebih baik ketimbang maestro penjualan sekalipun.
Dalam paparannya, AI ternyata lebih berhasil membangun interaksi dengan konsumen dimana konsumen memang benar-benar ingin didengarkan, dipahami serta dihargai. Akurasi analisis yang dikerjakan mesin AI (misal melalui CRM) jauh lebih tinggi, dan mendapatkan feedback yang sangat positif dari pasar.