Program Pintar
Praktik baik dan gagasan pendidikan

Kolom berbagi praktik baik dan gagasan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Kolom ini didukung oleh Tanoto Foundation dan dipersembahkan dari dan untuk para penggerak pendidikan, baik guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, dosen, dan pemangku kepentingan lain, dalam dunia pendidikan untuk saling menginspirasi.

100 Hari Nadiem Makarim, Merdeka UN tapi Belum Merdeka Beban Belajar

Kompas.com - 31/01/2020, 18:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kalimat terakhir yang Ratna sampaikan sejenak sebelum berpisah. Saya pun mengamini. Pada saat saya dulu sekolah yang tidak sebanyak saat ini saja, kami sangat menikmati jam kosong, apalagi saat ini siswa dengan 14 mata pelajaran.

Bahagia "jam kosong"

Tidak heran jika Indonesia duduk di peringkat pertama pada siswa yang paling Bahagia di dunia (Laporan PISA 2012). Akan tetapi PISA 2012 mengungkap bahwa kebahagiaan siswa tidak diiringi dengan hasil tinggi pada survei internasional di bidang kemampuan baca, sains, dan metematika.

Pranoto (2013) mengungkapkan bahwa siswa di Indonesia masih lemah dalam hal analisis dan berfikir tingkat tinggi.

Siswa cenderung diajarkan menghafal. Akan tetapi meski dibebaani dengan menghafal, siswa cenderung bahagia karena salah satunya dipengaruhi oleh seringnya guru yang terlambat atau tidak hadir di sekolah.

Laporan dari ACDP Indonesian (2014) yang melakukan penelitian di hampir seluruh provinsi di Indonesia, menemukan bahwa tingkat ketidakhadiran guru mencapai 10 persen.

Bukan kebahagiaan yang diiringi dengan prestasi tinggi seperti halnya siswa di Finlandia. Atau bukan kebahagiaan karena merayakaan kemerdekaan belajar bersama teman dan guru di sekolah.

Alih-alih bahagia yang berbanding positif dengan prestasi, siswa di Indonesia bahagia karena merayakan seringnya jam kosong di sekolah.

Peminatan, kejar jam mengajar

Jika target utama Pak Nadiem saat ini adalah untuk memerdekakan siswa dan guru dalam proses belajar mengajar; maka Pak Nadiem dan jajarannya nampaknya harus mulai memikirkan Pekerjaan Rumah yang diutarakan oleh Ratna di sekolah kami.

Pemerintah juga harus segera mengurangi beban mata pelajaran yang berjumlah 14 itu.

Lalu mungkin ada pertanyaan, kalau begitu pasti ada mata pelajaran yang akan dihapus? Bagaimana dengan nasib gurunya?

Sebenarnya belajar dengan jumlah jam tinggi ini salah satunya adalah untuk menjawab persyaratan guru harus mengajar 24 jam seminggu.

Karena banyak guru yang kekurangan jam mengajar maka dibuatlah kelas peminatan; sebagai contoh siswa harus belajar Matematika Wajib dan Matematika Peminatan; Bahasa Inggris Wajib dan Bahasa Inggris Peminatan; Ekonomi dan Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU).

Jika pemerintah membolehkan sebenarnya kekurangan jam mengajar, dapat saja diberikan solusi dengan satu mata pelajaran diampu oleh dua guru.

Misalnya Bahasa Inggris mempunyai dua guru, sehingga di kelas siswa akan lebih mudah belajar, karena akan ada dua instruktur yang membantu dan melayani mereka ketika mereka membutuhkan bantuan.

Kelas Ekonomi dan Pendidikan Kewirausahaan juga bisa bergabung karena dua mata pelajaran itu sangat terkait dan bersinggungan.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau