KOMPAS.com - Memasuki era revolusi industri 4.0, salah satu bahasan yang cukup banyak diperbincangkan ialah bagaimana mesin dan robot kini telah banyak mengambil lahan pekerjaan manusia.
Para pelajar kini dituntut untuk memiliki sejumlah kompetensi agar dapat bersaing untuk mencari pekerjaan di era digital.
Namun, kenyataannya tak hanya hanya pelajar yang harus meng-upgrade kemampuan, para guru pun harus bertransformasi mengikuti perkembangan zaman.
Direktur Sekolah Manusia (School of Human) Cibubur Cibubur Munif Chatib M.Pd mengatakan, dampak langsung dari revolusi industri 4.0 begitu terlihat dalam bidang pendidikan, khususnya dalam proses belajar mengajar, di mana guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi bagi siswanya.
Baca juga: ANPS Teachers Conference Ajak Guru Miliki Kompetensi agar Tak Terganti Robot
"Media sosial dan berbagai macam aplikasi menjadi sumber informasi yang lebih cepat dan akurat daripada sosok guru. Sampai-sampai, tugas mengajar sudah digantikan oleh robot atau hologram teacher. Inilah tantangan yang harus dihadapi oleh banyak guru di seluruh dunia," papar Munif yang juga merupakan dosen FKIP UNUSA Surabaya dan CEO Konsultan Next Edu, dalam ANPS Teachers Conference 2020, di Beacon Academy, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Sabtu (15/2/2020).
Dalam konferensi guru yang diselenggarakan oleh The Association of National and Private Schools (ANPS) tersebut, sejumlah tokoh pembicara dihadirkan untuk menginspirasi para guru untuk menjalankan metode pembelajaran yang dibutuhkan oleh siswa.
Salah satunya sesi bertajuk "Gurunya Manusia". Sesi yang berlangsung selama 30 menit tersebut diisi oleh Munif dan dihadiri oleh para guru dari berbagai sekolah di Indonesia.
Baca juga: Skema Dana BOS Diperbarui, Kompetensi Kepala Sekolah Diuji
Munif memaparkan sejumlah cara agar peran guru senantiasa dirindukan oleh murid dan tak terganti oleh hologram teacher.
Membangun relasi dengan siswa menjadi kemampuan penting yang perlu dikuasai oleh para guru agar perannya tidak digantikan oleh robot. Relasi dapat tumbuh bukan melalui komunikasi satu arah, melainkan komunikasi dua arah.
Dengan komunikasi dua arah, maka guru akan tahu apa saja kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh siswanya. Tak sekadar mengenal siswa dari nilainya.
"Guru yang keras akan ditinggalkan siswanya, guru yang tegas akan dirindukan oleh siswanya," kata Munif.
Guru yang keras digambarkan dengan guru yang "galak", gemar berteriak, dan senang mengomel tanpa mau tahu apa kesulitan yang dialami oleh siswa. Namun, guru tegas akan memberikan sanksi sesuai dengan bukti dan kapasitas siswa. Termasuk memberikan penghargaan atas prestasi yang didapat oleh siswa.
Guru perlu memiliki pemahaman bahwa setiap anak terlahir pintar, hanya saja bidang yang dikuasai anak bisa berbeda. Ada anak yang senang matematika, bahasa, atau fisika.
Karena itu, guru harus menganggap semua siswanya adalah bintang atau juara. Jika hal ini dilakukan, maka siswa akan mempunyai rasa percaya diri bahwa mereka mampu belajar.
Baca juga: Kata Nadiem Makarim Seputar Dana BOS untuk Gaji Guru Honorer
Walau kelebihan siswa sekecil debu, guru sebagai sosok pengajar perlu fokus untuk menggali kelebihan itu agar siswa tumbuh menjadi pribadi yang mudah berprestasi dan bukannya rendah diri.
"Pandang anak dengan label-label positif, jangan lihat nakalnya, jangan lihat nilai jeleknya. Fokus pada kelebihannya," ujar Munif.
Dengan begitu, anak akan termotivasi untuk terus memperbaiki diri dan tidak termakan "sugesti" bahwa ia tidak bisa atau tidak pintar.
Saat guru menganggap siswa adalah bintang, maka otomatis guru akan memandang kemampuan siswanya seluas samudera, yaitu sikap, keterampilan dan pengetahuan.
Dengan begitu, siswa memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya sehingga lebih mudah berprestasi. Guru pun menjadi pendidik yang akan melahirkan siswa-siswa berprestasi dari beragam bidang.
Sudah saatnya guru ucapkan selamat tinggal untuk kecerdasan tunggal, nilai anak-anak tidak hanya berdasarkan angka atau "kasta", melainkan dilihat dari banyak hal.
Munif menuturkan, kecerdasan kognitif kini telah mengalami penyempitan makna, yaitu dipersempit menjadi nilai dan "kasta".
"Anak-anak pintar adalah anak yang nilainya di atas 8, atau anak IPA lebih pintar dari IPS. Itu adalah anggapan keliru para guru," imbuhnya.
Bila guru memahami bahwa kecerdasan bukan dilihat dari angka atau kasta, maka guru akan memiliki peluang lebih besar menstimulus siswa untuk lebih berprestasi.
Bila guru menjadikan siswa sebagai objek pendidikan, maka guru akan menuntut siswa untuk mengikuti pelajaran yang diberikan.
Namun, bila guru menganggap siswa sebagai subyek pendidikan, materi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Termasuk melibatkan siswa dalam proses belajar dan memperhatikan bakat dan minat siswanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.