Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/02/2020, 12:00 WIB
Ayunda Pininta Kasih,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pola asuh tak mesti seragam setiap hari. Kadang, anak membutuhkan pola asuh yang "lembut" untuk mengajarkannya menjadi pribadi yang penuh kasih. Namun, ada kalanya orangtua juga perlu menerapkan pola asuh "otoriter" agar anak belajar menaati aturan.

Melansir Dailymail, Dr. Mai Stafford dari University College London yang melakukan studi terhadap ribuan orang di Inggris sejak responden masih remaja sampai usia 60-an mengatakan, orangtua harus menyesuaikan perilakunya.

"Anak yang memiliki orangtua dengan lebih banyak sikap hangat dan responsif pada kebutuhan anaknya, akan tumbuh menjadi orang yang memiliki kepuasan hidup dan kesejahteraan mental lebih baik," kata Stafford.

Baca juga: Tanamkan Budi Pekerti, Bacakan 5 Dongeng Tradisional ini Sejak Dini

Melansir dari laman Sahabat Keluarga Kemendikbud, orangtua juga perlu menerapkan pola asuh otoriter untuk menghadapi sejumlah situasi, misalnya saat anak melakukan tindakan yang tidak sesuai etika atau aturan.

Bila orang tua "lembek" pada saat tersebut, itu dapat berdampak pada perilaku anak yang suka membangkang dan melawan orangtua. Hal ini bisa terjadi karena orangtua terlalu membebaskan anak tanpa kontrol. Sehingga pola asuh otoriter dibutuhkan.

Otoriter bukan kekerasan fisik

Walau begitu, perlu diingat bahwa otoriter yang dimaksud bukan berarti orangtua dapat berbuat kasar atau mengekang anak.

Contoh dari pola asuh otoriter yang keliru antara lain tidak memperbolehkan anak membuat keputusan atau pendapat sendiri, anak tidak boleh memiliki privacy, hukuman berbentuk fisik dan menuntut disiplin dari anak-anaknya tanpa adanya toleransi.

Baca juga: Asah Kecerdasan Anak, Bacakan 5 Dongeng Klasik Terpopuler di Dunia Ini

Sebaliknya, otoriter yang bertanggung jawab berupa menekankan sikap tegas orangtua. Misal, ketika anak tidak menurut atau melawan orangtua, maka orangtua harus menghukum.

Hukuman adalah memberikan konsekuensi yang tidak menyenangkan atas tindakan yang dilakukan karena melanggar peraturan. Pastikan konsekuensi itu logis dan mendidik.

Orangtua hanya diperbolehkan memberikan hukuman ringan tanpa menyakiti fisik ataupun psikis dan sesuai dengan kesalahan yang diperbuat anak.

Misalnya anak harus minta maaf dengan sungguh-sungguh saat berlaku tidak sopan. Bila ia melanggar aturan seperti merusak mainan, maka tegaskan bahwa ia tak akan dibelikan mainan baru sampai ia memperbaiki kesalahannya.

Sebelum memberikan hukuman yang memiliki efek jera dan memotivasi anak untuk memperbaiki diri, ada beberapa faktor yang harus orangtua pertimbangkan, merangkum laman Sahabat Keluarga Kemendikbud.

1. Sesuai kesalahan

Berikan hukuman sesuai dengan kesalahan yang dilakukan anak dan lakukan segera setelah anak melakukan kesalahan. Tujuannya adalah agar anak mengingat bahwa hukuman tersebut adalah risiko dari tindakannya.

Dengan begitu, anak akan berpikir dahulu saat akan melakukan kesalahan yang sama lain kali karena efek jera.

Baca juga: 5 Cara Orangtua Membantu Anak Mengatur PR Sekolah

2. Tidak melukai psikis, fisik, dan perasaan anak

Jangan menghina anak atas kesalahan yang diperbuat dan hindari melakukan tindakan fisik seperti memukul.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com