"Cool Village": Haruskah Belajar Dari Nol Lagi?

Kompas.com - 01/03/2020, 08:40 WIB
Mahendra K Datu,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hari yang cerah di tanggal 4 Juli…

Dalam pidatonya, President Lanford mengenang kembali bagaimana dua puluh tahun sejak Amerika dan dunia porak poranda dalam perang yang tak terbayangkan menyampaikan wawasannya, …

“Kehilangan nyawa yang tak terbilang jumlahnya dua puluh tahun lalu tak membawa kita kepada kesia-siaan. Para pahlawan yang gugur itu telah menginspirasi kita untuk bangkit dari butiran abu menjadi penduduk bumi yang bersatu. Negara-negara telah mengesampingkan berbagai perbedaan dan perselisihan. Bersatu, kita semua membangun kembali keluarga-keluarga kita, kota-kota dan juga kehidupan kita. Penggabungan dari teknologi kita dengan teknologi asing tak hanya memampukan kita melawan gravitasi serta menjelajah angkasa dengan kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya, tetapi hal itu juga membuat bumi kita kembali menjadi tempat yang aman.” (President Elizabeth Lanford, 2016)

Pidato itu sungguh memberi inspirasi para audience. Dua puluh tahun yang penuh peluh dan air mata, kekuatan belajar bersama, agar perang besar dapat selalu dihindari atau dimenangkan di masa-masa mendatang.

Seperti dikisahkan dalam film epic “Independence Day: Resurgence” yang diolah dengan ciamik oleh Roland Emmerich bersama Dean Devlin, situasi tahun 2016 digambarkan sebagai suatu peradaban yang sangat kental dengan pembelajaran bersama, ketergantungan, keterhubungan semua bangsa untuk sekali lagi menjadikan bumi tempat yang aman untuk semua orang.

Dua puluh tahun lalu tak pernah terpikir bahwa di suatu titik di masa depan kehidupan mereka berubah drastis.

Dua dekade setelah film pertama dirilis (Independence Day, 1996), penonton disuguhkan pada sebuah periode panjang yang penuh dinamika pembelajaran.

Kehancuran kota-kota dunia serta tewasnya jutaan penduduk bumi di berbagai negara, dipakai sebagai titik balik untuk belajar menjadi siap, antisipatif, terhadap segala perubahan dan ancaman global.

Saat merefleksikan kedua film epic itu, tiba-tiba saja seorang sahabat saya mem-forward sebuah video pendek yang menayangkan Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Hsien Loong, tampil dengan sangat kasual di depan kamera sembari berbicara kepada warganya untuk tetap tenang menghadapi wabah virus Corona asal Wuhan, China, yang saat tulisan ini dibuat telah menjangkiti setidaknya 33 orang di wilayah Singapura.

Kemenangan Tak Menghentikan Pembelajaran

Dalam pidatonya di World Economic Forum di Davos, Swiss beberapa waktu lalu, PM Lee menyampaikan bagaimana Singapura telah belajar banyak sejak virus penyebab SARS menghantam Asia termasuk Singapura di tahun 2003.

“Setelah kasus SARS, kami melakukan review menyeluruh akan fasilitas apa saja yang kami miliki – seperti infrastruktur, rumah sakit, bangsal isolasi, dan kemampuan uji ilmiah. Kami jauh lebih siap saat ini (menghadapi corona-virus).”

Apa yang dikatakan PM Lee bukanlah wacana semata, bukan pula pencitraan. Di akhir tahun 2018 bahkan ia telah meresmikan The National Center for Infectious Disease (NCID) yang menjadi kulminasi daya upaya Singapura menjadi garda terdepan melawan wabah penyakit menular global.

Lihatlah tujuh belas tahun setelah SARS, apa yang dimiliki Singapura saat ini? Pengetahuan yang jauh lebih baik, fasilitas dan infrastruktur yang lebih memadai, dan sederetan protokol yang secara intense mengedukasi penduduk Singapura soal bagaimana bereaksi terhadap wabah global.

Memang sesekali kita melihat potret kepanikan penduduk Singapura yang memborong bekal makanan dan masker, tetapi itu hanya sebentar.

Semenjak PM Lee mengisyaratkan bahwa all supplies – termasuk makanan dan kebutuhan kesehatan – dijamin tetap tersedia di berbagai grocery store, penduduk Singapura lantas tenang kembali.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau