Singapura sedang melalui sebuah tahapan proses menjadi bangsa yang sangat siap dengan bencana seperti layaknya Jepang senantiasa siap menghadapi gempa bumi dan tsunami.
Silakan cari di channel Youtube mengenai CCTV footage di dalam gedung-gedung saat gempa-gempa besar melanda Jepang.
Tak ada mass histeria, tak ada commotion dalam jumlah masif yang menggambarkan orang-orang berebut keluar dari pintu gedung atau gambaran kekacauan di tangga darurat.
Masyarakat Jepang sudah sangat teredukasi soal ini: kepanikan hanya akan memperhebat kekacauan dan memperkecil peluang selamat.
Singapura, seperti Jepang, telah memenangkan berbagai ‘perang’ terhadap banyak bencana dan wabah, karena– meski telah menang ‘perang’ – mereka tak berhenti belajar, tak berhenti membuat terobosan baru, suatu protokol atau mekanisme tindakan yang akan dilakukan bila suatu kejadian bencana terjadi kembali di masa mendatang.
Bagaimana dengan kita di negeri nak keren ini?
Ooo, tunggu dulu, saya tidak sedang membahas soal virus corona ini.
Terus terang saja, saya takut mempertanyakan hal di atas bahkan kepada diri saya sendiri. Apakah saya yakin bahwa saya sangat peduli pada progress apapun yang membantu saya melalui jalan setapak menuju masa depan?
Seperti bangsa-bangsa lain, Indonesia tak terhindar dari berbagai masalah dan bencana. Dari yang paling rutin: wabah demam berdarah, liarnya peredaran narkoba, bencana alam tanah longsor, gempa bumi dan banjir, lemahnya pengawasan yang menyebabkan menjamurnya korupsi.
Yang rada berat: turbulensi politik setiap menjelang pilkada atau pemilu, turbulensi ekonomi sebagai imbas turbulensi ekonomi regional atau global, kebakaran hutan-hutan, dan demo-demo terkait ketenagakerjaan.
Lalu, apakah yang sudah kita pelajari? Apakah kita sudah membangun suatu protokol, suatu mekanisme ‘jaga diri’, atau suatu kebijaksanaan yang memampukan bangsa kita ini melalui apapun masalah itu?
Jujur saja, saya sedikit ragu soal ini. Saya merasa kita memang sedang ‘mempelajari sesuatu’ tapi entah apa itu. Tampak semua sibuk mempelajari sesuatu, tetapi saya tak melihat ada suatu terobosan baru yang sangat oke, kelihatan hasil positifnya.
Kita tak boleh menjadi bangsa yang berhenti pada status ‘problem solver’. Kita harus lebih daripada itu, bangsa pembelajar yang bahkan memiliki solusi saat masalah belum tiba di depan pintu rumah kita.
Pemerintahan datang silih berganti, tetapi peta jalan (road-map) pembelajaran nasional sebagai bangsa besar harus jadi tongkat estafet yang diteruskan dari pemimpin ke pemimpin.
Bukan soal apa yang sekolah-sekolah atau kampus-kampus sudah ajarkan kepada para siswa dan mahasiswa, tetapi apa yang keluarga-keluarga – yang difasilitasi oleh pemerintah – telah siapkan bagi anak-anak mereka untuk memenangkan kehidupan apapun masalah yang akan mereka hadapi kelak.