KOMPAS.com - Dalam webinar pendampingan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) untuk Kepala Sekolah SMA wilayah Pati, Kudus, Rembang, Jawa Tengah, Rabu (16/9/2020), pendiri GSM, Muhammad Rizal, mengungkapkan data bahwa ada sekitar 4,5 juta anak putus sekolah.
Jumlah tersebut terdiri atas usia SMA sebesar 2,45 juta; SMP 0,9 juta; dan SD sekitar 1,25 juta.
Namun, Rizal menyampaikan, krisis putus sekolah ini hanyalah ujung dari "fenomena gunung es".
"Belum memperhitungkan anak-anak yang masih bersekolah, tapi tidak benar-benar bersekolah, tidak menikmatinya bersekolah, mereka yang tidak benar-benar mendapatkan manfaat dari bersekolah," ujarnya.
Rizal menegaskan, alasannya bukan karena Indonesia tidak mengeluarkan cukup banyak uang.
"Indonesia mengalokasikan lebih banyak uang sejak reformasi sebesar 20 persen APBN atau sebesar Rp 492,5 triliun di tahun 2019, di mana sekitar Rp 305 T dibagikan ke daerah, sisanya ke kementerian seperti Kemendikbud sekitar Rp 40 triliun," papar Rizal.
Baca juga: Kemendikbud: Dunia Pendidikan Harus Cegah Tindakan Kekerasan
Meski sudah ada ratusan inisiatif setiap tahun untuk mencoba memperbaiki sistem pendidikan, Rizal melihat semuanya masih berjalan ke arah yang salah.
Rizal kemudian menjelaskan tiga prinsip utama tentang bagaimana kehidupan manusia berkembang, di mana semuanya bertentangan dengan budaya pendidikan saat ini:
Prinsip pertama adalah bahwa manusia pada dasarnya berbeda-beda dan beragam. Rizal menjelaskan setiap anak yang lahir akan memiliki potensi, talenta dan keminatan berbeda satu sama lain.
"Meskipun lahir dari satu rahim, setiap anak akan memiliki bakat dan kegemaran yang berbeda. Apalagi murid dalam satu kelas yang berasal dari banyak rahim keluarga," ujarnya.
Sayangnya, lanjut Rizal, Program Wajib Belajar 9 tahun tidak didasarkan pada keragaman, tapi penyeragaman. Sekolah-sekolah didorong untuk mengembangkan anak-anak dalam bidang-bidang yang sangat terbatas.
Baca juga: PGRI Minta Klaster Pendidikan Tak Masuk dalam RUU Cipta Kerja
"Contohnya evaluasi kualitas pendidikan sebuah negara yang diukur melalui kemampuan siswa SMAnya hanya di bidang Literasi, Matematika dan IPA saja oleh dalam program PISA (Program International Student Assessment), atau pembelajaran STEM (Sains, Teknologi, Teknik, Matematika)," papar Rizal.
Kedua program ini sangat penting, tapi program ini menurutnya tidaklah cukup.
"Pendidikan seharusnya memberi bobot seimbang pada plah raga, kemanusiaan, dan seni. Tapi, ketiga bidang itu tidak diukur oleh PISA ataupun di STEM," ujarnya.