Kebiasaan yang muncul adalah untuk saling memberikan rekognisi, apresiasi, atau pengakuan terhadap suatu pencapaian dan menyemangati sesama.
Tindakan tersebut merupakan hal-hal kecil yang bisa guru lakukan untuk siswa.
“Kadang siswa merasa mencapai hal-hal kecil gitu kurang apresiasi. Kalau buat kita orang besar, itu yaudah, itu yang memang seharusnya kamu lakukan. Tapi kan kalau untuk usia anak, itu butuh direkognisi, disemangati, diapresiasi sama pencapaiannya walaupun sedikit,” ungkap Dyah lewat aplikasi Zoom.
Baca juga: 8 Webinar Gratis Kemendikbud untuk Asah Keterampilan Guru
Dalam pembelajaran ini, sebanyak 25 guru menjadi studi pilot sebagai murid yang sedang diajarkan oleh pengajar dari Finlandia.
Total pelajarannya pun ada 26 karakter, tetapi pembahasannya membutuhkan sekitar satu hingga dua bulan per tema.
“Jadi kita punya satu kartu setiap karakter itu ada satu kartu yang membawa kita melatih atau itu praktik-praktik yang memang kita bisa lakukan di rumah,” tutur Dyah.
Setelah mempelajarinya, guru-guru mengadaptasikan ilmu tersebut dalam bentuk tantangan kepada siswa.
Dyah menambahkan, pengajar mencampurkan pembelajaran sekolah dengan berbagai karakter dari program PE dalam menerapkannya.
“Jadi karakter yang kita pelajari itu tidak berdiri sendiri, tetapi blending (dicampurkan) dengan pembelajaran. Apa sih praktik minggu ini? Umpamanya kamu membantu Mama kamu. Membantu Mama kamu merapikan tempat tidur atau membantu Papa cuci mobil,” jelasnya.
Kemudian setelah siswa melakukan hal tersebut, guru meminta anak untuk membagikan pengalamannya.
Akan tetapi, tantangan yang diberikan tidak perlu sesulit itu. Terkadang Dyah hanya meminta murid untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada orangtua.
“Kadang-kadang ada challenge (tantangan) gini, you just need to say ‘I love you, Mom’ (kamu hanya perlu bilang, 'Aku cinta kamu, Ibu'). Buat orang Indonesia kan tidak biasa. Itu kita mau mengajarkan siswa kalau ini bukan too much, ini bukan lebay, that’s the way to show your love to Mom and Dad (itu caranya menunjukan rasa cinta kepada Ibu dan Ayah). Itu hanya challenge kecil,” imbuh Dyah.
Baca juga: UGM: 3 Persoalan Besar Kesehatan Mental di Pandemi Covid-19
Dengan menerapkan positive education, Dyah mengatakan bahwa hal tersebut dapat membangun relasi emosional antara anak dan orangtua.
Pasalnya, relasi antara orangtua dan anak menjadi penting pada saat pembelajaran jarak jauh untuk memperlancar proses pendidikan anak.
“Jadi tagline-nya ‘Happy kids learn best’ (anak yang bahagia dapat belajar dengan kondisi terbaik). Jadi kalau kita feel happy (merasa bahagia), kita bisa belajar lebih mudah,” pungkas Dyah.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.