Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Mendobrak Pengajaran Dogmatis dengan Pendidikan Bernalar

Kompas.com - 08/02/2021, 19:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketika itu, pertanyaan ‘kenapa’ mungkin harus dikubur dalam-dalam. Pun hal ini tidak hanya dalam pelajaran matematika.

Pada pelajaran yang seharusnya diajarkan penalaran seperti rumpun ilmu pengetahuan sosial, murid malah dijejali bacaan yang seragam untuk dihapal.

Seperti identitas pahlawan beserta tanggal lahir, tanggal dan tahun perang yang dipimpinnya. Bukan pada hal substansial seperti nilai-nilai apa yang diperjuangkan dalam perang hingga menalar relevansinya dengan kondisi yang sekarang.

Dalam pembelajaran di kelas, guru bukan dewa penentu kebenaran. Guru bukan pula hakim yang memutuskan satu pernyataan salah atau benar.

Akan tetapi, kenyataannya, beberapa guru kerap terjebak dalam skenario yang menyuapkan ilmu pengetahuan secara satu arah, seakan dirinya merupakan sumber utama kebenaran.

Hal seperti ini yang membuat pendidikan menjadi dogmatis di akar rumput, bahkan jika kurikulum baik, tetap praktik pengajarannya akan menjadi dogmatis.

Baca juga: Curahan Hati Guru dan Orangtua soal Pembelajaran Jarak Jauh

 

Pendidikan bernalar

Pada prinsipnya, ilmu pengetahuan bukan ada pada guru semata, melainkan ada pada setiap pelajar dan gurunya. Guru hanyalah pemandu belajar, seperti pemandu wisata, yang mendampingi setiap pelajar untuk mengembangkan sendiri talentanya. (Pranoto:2020).

Namun, bila ditelaah lebih lanjut, cara mengajar guru hampir seragam seperti di atas, berarti guru juga menjadi produk dari gagalnya kurikulum pedagogi. Kata pedagogi diturunkan dari bahasa latin yang berarti mengajari anak.

Kurikulum pedagogi hanya diajarkan pada kampus pendidikan pencetak produk guru. Meski nyatanya tidak ada jaminan bahwa guru dari kampus pendidikan bisa memberikan alternatif metode dan ilmu pengetahuan pada muridnya.

Di negara kita, ada tiga kurikulum yang diimplementasikan pada daerah-daerah yang berbeda, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2013 revisi.

Mengingat kondisi infrastruktur Indonesia yang tidak merata, ditambah cara belajar anak yang beragam, adanya tiga kurikulum yang dijalankan di tempat-tempat berbeda bukanlah hal yang buruk.

Bahkan, kurikulum yang berbeda mungkin bisa mengantar pada teknik pedagogi yang lebih menjunjung tinggi diferensiasi pada peserta didik.

Kurikulum beragam bisa jadi hulu yang inklusif, yang mengalirkan metode dan ilmu pengetahuan majemuk pada peserta didik yang menjadi hilir dari sebuah pendidikan bernalar.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau