Menurutnya, penyeragaman dan kepatuhan kepada konten akademik harus ditrasnformasi pada pendidikan yang lebih mengembangkan penalaran kritis dan empati sosial tinggi untuk membangun siswa agar mereka menjadi lebih bahagia, sekaligus kompetitif di era ke depan.
"Perubahan paradigma ini harus dilakukan secara holistik dengan mengubah berbagai macam regulasi yang mendorong penguasaan konten akademik yang berlebihan seperti dihapusnya Ujian Nasional serta berbagai macam bentuk ujian lainnya," jelasnya.
Metode asesmen siswa, tambah Rizal, perlu segera digantikan dengan model evaluasi yang berbasis umpan balik terkait proses belajar siswa.
"Agar kebijakan ini sejalan maka perlu koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dengan daerah agar kebijakan dapat dijalankan dengan benar dan baik," tambahnya.
Salah satu upaya yang dilakukan GSM untuk mengatasi permasalahan PJJ adalah membuat kurikulum berbasis rumah dan komunitas yang disebut Home Based Learning (HBL), yang bertujuan memberikan pendidikan yang sumber belajarnya berbasis persoalan di rumah dan masyarakat.
Baca juga: Kurikulum Darurat Buat Bingung, Bosan dan Berang, Ini Saran GNI untuk Pemda
Merdeka Belajar yang digagas Mas Menteri, ujar Rizal, semestinya jika dioperasionalkan secara tepat di lapangan, tidak membuat guru dan siswa tergantung pada gawai dan kuota.
"Ketika goals berubah, orientasi kurikulum (juga) berubah. Sumber belajar tidak hanya dikurikulum tapi bisa melalu pemecahan berbagai persoalan yang ada dalam kehidupan dan masyarakat. Jadi walau tidak punya gawai atau akses tetap memiliki sumber belajar. Ini esensi dari Merdeka Belajar," tegas Rizal lagi.
Hal ini akan berdampak baik karena guru bisa menciptakan ekosistem bagi siswa untuk belajar memahami persoalan nyata di sekitarnya tetapi dengan cara-cara ilmiah dan berbasis procedural knowledge.
Untuk memberikan feedback terhadap proses belajar siswa, guru bisa melakukan kunjungan ke rumah siswa atau mengadakan pertemuan seminggu sekali dengan jumlah siswa terbatas untuk mendiskusikan proses belajar yang baru tersebut.
Baru-baru ini, Direktorat SMA Kemdikbud RI dan GSM bekerjasama membuat video HBL untuk dibagikan ke seluruh SMA di Indonesia di mana ditemui anak dan orangtua lebih senang dengan proses belajar HBL karena merasa tidak terbebani dan justru semakin antusias di dalam melakukan proses pembelajaran yang berbasis proyek dan persoalan nyata.
Guru merasa memiliki banyak metodologi pembelajaran serta lebih interaktif sehingga guru tidak terpaksa membebani murid dengan tumpukan tugas.
Anak, guru dan orang tuatidak lelah dan senang dengan proses pembelajaran HBL. HBL ini juga diterapkan di GSM tidak hanya sekolah di kota, tetapi juga di sekolah desa dan pinggiran dari tingkat SD – SMA/SMK.
Baca juga: Pelajaran Sejarah Tetap Ada di Kurikulum, Ini Pertimbangan Kemendibud
Sehingga HBL ini juga dapat membantu untuk menutup kesenjangan pendidikan tanpa harus melakukan PJJ yang konvensional.
"Tujuan pendidikan bukan untuk mengisi pengetahuan, melainkan mampu menuntun harkat manusia yaitu; rasa ingin tahu yang tinggi, rasa berimajinasi untuk berinovasi dan keberagaman potensi minat bakat," jelas Rizal.
Ia menambahkan, "alternatif kurikulum HBL ini menunjukkan siswa ternyata menjadi lebih mandiri, antusias, adaptif, dan termotivasi dalam belajar meskipun dalam kondisi pandemi. Selain itu, keterampilan sosial dan komunikasi dapat terbangun dalam menyelesaikan proses pembelajaran yang terjadi."
"Kompetensi inilah yang justru dibutuhkan agar anak-anak produktif dan kompetitif di era disrupsi ke depan. Hal ini sekaligus menandakan bahwa pandemi sebenarnya bisa menjadi titik balik untuk mengubah paradigma pendidikan serta bagaimana kita menata kembali pendidikan yang lebih adaptif untuk masa depan anak-anak kita," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.