KOMPAS.com - Tekanan psikologis dapat menjadi salah satu kondisi yang dihadapi siswa selama satu tahun menjalani Pembelajaran Jarak jauh (PJJ) akibat pandemi Covid-19.
Tekanan psikologis bisa muncul lantaran minimnya interaksi dengan guru, teman dan lingkungan, bisa juga dikarenakan tekanan akibat sulitnya mencapai target selama PJJ.
Bagi anak yang cepat atau mudah beradaptasi, PJJ mungkin bukan sebuah masalah. Namun, tidak demikian bagi anak yang sulit atau tidak cepat beradaptasi. Alih-alih efektif, PJJ justru dapat mendatangkan tekanan. Terlebih saat menghadapi ujian.
Ketidaksiapan menghadapi ujian tak dimungkiri dapat menjadi pemicu stres pada anak. Kondisi tersebut dapat membuat anak kurang termotivasi belajar, bahkan malas-malasan.
Baca juga: Targetkan 17,9 Juta Siswa, Ini Cara Daftar KIP Sekolah SD-SMA 2021
Lantas, bagaimana caranya agar psikologi anak tetap terjaga selama pembelajaran jarak jauh? Termasuk juga menjaga agar tetap stabil menjelang ujian sekolah?
Psikolog Intan Erlita, M.Psi mengatakan, menjaga anak agar tidak stres selama PJJ bukanlah perkara mudah. Karena bagaimanapun, ada begitu banyak perbedaan yang harus dihadapi antara sebelum dan selama pandemi.
Sebagai contoh, kata dia, jika sebelum pandemi dulu pembelajaran 100 persen dilakukan di sekolah, di mana siswa memiliki atau membentuk pola belajar yang umumnya sama.
"Pembelajaran dapat dilakukan dengan berkelompok, belajar dengan teman sebaya, mandiri, atau dengan guru sebagai fasilitator yang dapat memantau maksimal pembelajaran siswa," paparnya dalam keterangan tertulis Kelas Pintar yang diterima Kompas.com.
Kini, walaupun ada pembelajaran serupa, namun interaksi sesama teman sebaya serta pengawasan guru tidak dapat maksimal karena melalui perantara teknologi.
Baca juga: Satu Tahun Pandemi, Sekolah Bukan Satu-satunya Tempat Belajar
Intan menerangkan, kondisi ini tidak mudah. Bukan saja bagi orangtua, tetapi juga bagi anak.
"Dari sinilah, berbagai tekanan psikologis mulai berdatangan. Pada level tertentu, bahkan membuat anak menjadi kurang termotivasi dalam aktivitas pembelajaran," paparnya.
Menurut Intan, anak-anak baik TK, SD, SMP, maupun SMA, membutuhkan kontak atau sosialisasi yang cukup tinggi.
"Di mana mereka belajar mengenali lingkungan, belajar mengenali bagaimana ngobrol dengan guru, orang yang lebih tua, serta bagaimana beradaptasi dengan teman-teman seumuran. Pandemi ini membuat mereka kehilangan masa-masa yang dikatakan sebagai hubungan manusianya itu. Hubungan bagaimana dia beradaptasi. Nah ini menimbulkan stres tersendiri," jelas Intan.
Kondisi tersebut, dinilainya dapat diperburuk dengan tuntutan belajar yang tinggi, tugas-tugas yang banyak namun waktu yang tersedia untuk mengerjakan sedikit, serta tidak adanya waktu untuk mengaktualisasikan diri.
Di level ini, Intan menyebut bahwa banyak anak akhirnya merasa jenuh dan lelah. Ini kemudian tidak hanya berdampak pada nilai yang turun, tetapi juga emosi yang tidak terkontrol. Di mana anak mudah marah.
Baca juga: Siswa Belum Terdaftar KJP Plus? Lakukan Langkah Ini