Dalam akses informasi global via internet yang ideal, siapapun, di manapun, apapun statusnya, bisa mendapatkan akses informasi yang sama dari seluruh dunia.
Setiap orang bisa belajar apapun, mendapatkan pengetahuan apapun, berjejaring dengan siapapun, dengan biaya per bulan yang kadang tak lebih dari pengeluaran dua kali makan siang di warung.
Indonesia sebagai negara kepulauan perlu infrastruktur internet yang masif, karena hampir dua juta kilometer persegi wilayahnya tidak secara merata terdistribusi infrastruktur internetnya, padahal itu sebuah kebutuhan yang tak terhindarkan, bahkan sifatnya mandatory.
Bandingkan dengan India di akhir tahun 1990-an. Para petani di pelosok-pelosok India sampai berinisiatif iuran untuk mendapatkan akses internet yang masih sangat sederhana dan lamban pada waktu itu, hanya untuk mendapatkan akses harga komoditas pertanian dari Chicago dan London.
Mereka tahu bahwa tanpa informasi real-time, mereka bisa dikerjain tengkulak, atau ditipu oknum-oknum koperasi komunitas.
Itu India yang tanahnya menyatu, bukan kepulauan seperti Indonesia. Kita di sini jelas lebih memerlukan spirit itu.
Jangankan cari harga real-time di Chicago atau London, untuk mencari harga pasaran di Pulau Jawa saja bagi petani-petani di luar Jawa akan kesulitan di tahun-tahun 90-an itu.
Akses informasi tak hanya mengedukasi, tapi juga memberi setiap pelaku industri level playing field, asas keadilan dalam berbisnis karena informasi yang mereka akses kira-kira sama lengkapnya dengan yang dimiliki konsumen atau pedagang.
Sulit untuk mendefinisikan kembali, sebenarnya siapa yang raja, produsen atau konsumen. Swasta harus lebih jeli melihat potensi ini.
Dari India, lalu membahas tanah air, kalau berbicara mengenai populasi sebesar 270 juta jiwa, rasa-rasanya sayang bila aset – para ekonom menyebutnya sebagai bonus demografi – tidak dikapitalisasi demi kemaslahatan bersama.
Facebook memiliki "populasi" sebesar 2,8 milyar pengguna di seluruh dunia. Bayangkan saat Mark Zuckerberg memulainya hanya untuk kalangan kampus di Amerika, yang mungkin hanya 10 persen dari penduduk Amerika di tahun 2006, maka Facebook tak menjadi sebesar sekarang ini.
Terlalu sedikit. Instagram, yang juga dimiliki Facebook, malah memiliki 1,1 milyar pengguna aktif dengan 87 juta di antaranya berasal dari Indonesia. Inilah kewarganegaraan ganda yang disandang oleh milyaran pengguna internet di seluruh dunia.
Akan diapakan aset pasar sebesar ini?
Bila kita memiliki basis massa, atau konsumen dalam konteks bisnis, maka secara teknis apapun bisa kita jual, sekaligus siapapun bisa kita bikin bahagia.
Kalau konsumen senang, masalah mereka terselesaikan, kualitas hidup keseharian mereka menjadi lebih baik, maka profit adalah keniscayaan. Semua diuntungkan (dan tentunya, pasar dibahagiakan).