Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/07/2021, 13:00 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

Penulis: Udjie Kayank, Redaksi KPG

KOMPAS.com - Mahfud Ikhwan mulai dikenal pembaca sastra Indonesia saat novelnya, Kambing dan Hujan, memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Setelah itu, ia menerbitkan kembali edisi revisi novel debutnya, Ulid (2016), dan kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing (2016).

Tahun berikutnya, Mahfud meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 melalui novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (2017). Awal tahun ini, sekuel Dawuk terbit dengan judul Anwar Tohari Mencari Mati.

Kemudian, bersama Abidah B. Setyowati, Darmanto menulis Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan, dan Politik Ekologi, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada 2012.

Baca juga: Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia

Namun kali ini, Mahfud dan Darmanto yang sama-sama menggilai sepak bola sejak usia mereka yang ke-15, semakin menseriusi dunia bola.

Mahfud bahkan menerbitkan beberapa kumpulan buku esai sepak bola, dan Darmanto pun demikian, ia menulis Tamasya Bola: Cinta, Gairah, dan Luka dalam Sepakbola (2016).

Pada 2010, mereka memulai blog Belakang Gawang sebagai medium penulisan esai-esai sepak bola.

Sejak itu, Belakang Gawang menjadi ikon dan tolak ukur bagi penulisan esai sepak bola hari ini, yang ditulis oleh generasi lebih muda dan coraknya berbeda dari para esais sepak bola pendahulu mereka, misalnya Sindhunata. Darmanto dan Mahfud pun dikenal sebagai duo legendaris dalam penulisan esai jenis ini.

Kini duo legendaris itu kembali, dan tidak sendiri-sendiri lagi melainkan bersama dalam buku kumpulan esai sepak bola Dari Belakang Gawang, terbit di Kepustakaan Populer Gramedia pada 7 Juli 2021.

Baca juga: Buku Minggu Ini: 5 Novel Genre Horor Terbaru Tahun 2020

Judul buku sudah menyiratkan kesan nostalgis oleh karena di Belakang Gawang-lah dulu mereka bertemu kembali setelah sekian lama, dan setelah sekian lama yang berikutnya, mereka tahu di mana rendezvous itu.

Dari Belakang Gawang berisi esai-esai Darmanto dan Mahfud yang berfokus pada persoalan sepak bola negara-negara dunia. Mereka berdua menyorot tiga kompetisi internasional terbesar, yakni Piala Dunia, Euro atau Piala Eropa, dan Copa America. Di dalamnya, tentu saja banyak bahasan menarik tentang timnas-timnas peserta kompetisi-kompetisi itu.

Jerman, misalnya. Timnas berjulukan Der Panzer itu mengalami perkembangan menarik seiring zaman, yang sebetulnya malah menjadikan kita bertanya-tanya apakah masih pantas julukan itu mereka sandang? Der Panzer mengesankan kekuatan fisik nan prima, permainan kaku dan sistematis, serta semangat militeristik.

Jerman tampil seperti sepasukan tentara yang bersiap menaklukkan lawan, dengan berbagai kualitas itu dan tidak lupa mental Jerman-nya.

Namun, Mesut Özil, pemain Jerman keturunan Turki, muncul sebagai pembeda. Tubuhnya sama sekali tidak kekar, terkesan ringkih malah. Kecepatan dan keteraturan permainan jelas tidak ada dalam dirinya. Ia sering mengirim umpan nyeleneh, yang tidak terduga-duga, dan tentu saja meleset dari gaya permainan kaku dan sistematis.

Özil mengubah Jerman dari yang sebelumnya tampak membosankan menjadi lebih enak ditonton. Özil pula yang menggoda Mahfud, yang tidak mau mendukung Jerman, untuk mempertimbangkan kembali sikapnya.

Baca juga: 10 Sarjana Tertua di Dunia, Bukti Pendidikan Tak Dibatasi Usia

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau