Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/10/2021, 11:36 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Kisah kehidupannya sebagai seorang utoeh bermula sekitar tahun 1977. Awalnya ia adalah seorang pandai besi yang hanya fokus membuat parang. Ia diajak oleh lelaki yang bernama utoeh Yakub.

Utoeh Yakub adalah putra utoeh Bong yang merupakan seorang primadona diantara utoeh lainnya pada masa itu. Sayangnya, kenang beliau, ia tidak sempat bertemu langsung dengan utoeh Bong karena telah meninggal ditahun 1969, delapan tahun sebelum pertemuannya dengan utoeh Yakub.

Kebanyakan rencong yang beredar saat ini, menurut beliau hanyalah rencong hias, bukan rencong sebenarnya.

Maka, di satu kesempatan saat diminta pendapat tentang sebuah rencong, tak segan-segan dikatakan, “Oh ini rencong palsu,” kata utoeh Ishak kepada yang bertanya. Marah mereka semua, kenangnya sambil terkekeh dan saya pun jadi ikut tertawa.

Bagi utoeh Ishak, penempa rencong harus memiliki kesadaran akan ruang dan nilai saat membuatnya. Dari situ kemudian dibentuklah rencong dengan lekuk dan ukiran yang telah ditetapkan secara turun-temurun. Secara nilai, di bagian gagang, ada perlambangan huruf ba dari Bismillah.

Di ujung sarung, ada lekuk bergerigi tiga sebagai lambang huruf sin. Di bagian tengah bilah adalah huruf ra. Keseluruhannya membentuk kaligrafi Bismillahirrahmanirrahim. Karena penempaannya mengandung aspek religiusitas, maka penggunaannya tidak boleh keluar dari nilai agama.

Baca juga: Penutupan Felsi 2021: Pesan Meningkatkan Literasi dan Menemukan Renjana

Kalau secara ruang, beliau menunjuk ke bagian lekuk gagang adalah Kuta Alam. Ujung dari gagang adalah Ulee Lheue. Kemudian di sekitar pembatas gagang dan bilah adalah Lhokseumawe, kemudian Langsa.

Di bagian ujung merupakan kota Langkat Tamiang. “Tapi itu dulu, kalau sekarang di ujung ini adalah Merauke, karena sudah bersatu Aceh dengan Jawa (Indonesia),” terangnya dalam bahasa Aceh. Konsep ruang ini berarti, bahwa rencong harus digunakan dengan tujuan membela tanah air.

Tradisonal, dari pembuatan hingga pemasaran

Biasanya utoeh Ishak hanya membuat rencong ketika ada pesanan. Jika tidak memiliki pesanan, beliau turun ke sawah untuk mengisi waktu luangnya. Harga satu buah rencong yang dijualnya bisa mulai dari dua ratus ribu sampai dua jutaan.

Salah satu rencong yang terbilang mahal adalah rencong siwah, jenis rencong yang dipakai oleh Sultan Iskandar Muda. Murah dan mahalnya suatu rencong itu tergantung pada tingkat detail rencong tersebut.

Pembuatan untuk detail tinggi bisa memakan waktu sampai satu minggu, itupun jika bahan baku tersedia lengkap.

Saat ini beliau masih menggunakan teknik pemasaran tradisional, yaitu dengan menjual hasil karyanya ke pengepul. Terkadang juga, ada pemesanan dari luar kota, biasanya yang seperti ini sudah menggunakan aplikasi WhatsApp dalam berkomunikasi.

Sampai saat ini informasi tentang beliau hanya tersebar dari mulut ke mulut. Pemasaran melalui aplikasi ecommerce secara modern belum dimanfaatkan secara maksimal.

Bahan baku yang digunakan adalah besi putih untuk bilah dan sarungnya dari tanduk kerbau, atau lungke dalam bahasa Aceh. Untuk besi putih, biasanya didapat di tempat jualan rongsokan.

“Kadang ketemu kadang gak ketemu, gak tentu,” ucapnya. Kalau lungke jarang ada yang menjualnya di Aceh Utara dan sekitar. "Biasanya lungke sering dipesan dari Takengon, Sigli, dan Meulaboh,” ucap utoeh Ishak.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau