Biasanya dana yang dikeluarkan berkisar 60 ribu untuk sepasang lungke kerbau betina, sedangkan untuk lungke kerbau jantan lebih murah, sekitar 40 ribu. Lungke kerbau betina lebih mahal karena bentuknya yang lebih panjang dan mudah dibentuk dibandingkan lungke kerbau jantan.
Baca juga: Usung Tema Literasi Pulihkan Negeri, Festival Literasi Siswa 2021 Resmi Dibuka
Hasil tangannya ini pernah ikut dilombakan. Seperti di tahun 2018, utoeh Ishak mendapatkan tawaran membuat pedang on jok (pedang daun enau), salah satu senjata tradisional aceh.
Pedang seharga 5 juta itu diikutsertakan dalam sebuah festival internasional dan mendapat juara, “Tapi saya tidak dapat hadiah apapun selain piagam penghargaan. Tiga orang yang tanda tangan, ya profesor doktor. Cuma mau dibawa kemana?” tuturnya.
Orang yang membeli rencong beliau berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Mulai yang biasa sampai kolektor. Ada juga pembeli dari luar negeri. Saat ditanya, pernahkah pemerintah daerah membeli hasil karya utoeh? “Ga ada, ha ha ha,” jawabnya.
"Sekira pemerintah daerah mau beli banyak," lanjut beliau, "Kita jadi punya modal. Bisa dikembangkan. Bisa kita panggil anak-anak lain di sekitar, ada alat untuk kerja, kemudian bisa kita bayar gaji. Kalau begini bagaimana mau bayar gaji. Bahan yang kita butuh saja susah bayarnya."
Utoeh Ishak sangat ingin sekali kegiatan ini berjalan dan terus diwariskan kepada orang banyak. Saat ini, yang mewarisi pengatahuannya hanya seorang anak laki-lakinya. Bahkan, menurut beliau, anaknya lebih mahir dan memiliki wawasan rencong lebih banyak dari dirinya.
Tetapi apa boleh buat, anaknya tidak bisa melanjutkan pekerjaan itu karena penghasilan yang didapat tidak mencukupi. Akibatnya, jika ada pesanan rencong yang butuh pengerjaan detail, beberapa kali terpaksa dibatalkan karena tidak ada orang yang membantunya.
Di usianya yang sudah senja, ia tidak lagi memiliki tenaga seperti di masa muda.
“Jika pemerintah daerah tidak mau bersungguh-sungguh membantu, kita akan kehilangan salah satu warisan budaya yang penting. Apakah tidak weuh hatee (sedih hati)?” ujarnya.
Sudah seringkali utoeh Ishak dikunjungi, baik oleh pejabat dinas, wartawan, ataupun orang-orang yang sekadar ingin berkenalan. Meski beliau tidak fasih berbahasa Indonesia, semuanya diterima dengan ramah.
Baca juga: Puspresnas Gelar FLS2N 2021 bagi Siswa Berkebutuhan Khusus
Tetapi belum ada bantuan konkret yang bisa menjamin kelestarian budaya ini. Saya teringat tulisan Gunawan Muhammad yang berjudul “Origami”. Di situ disebutkan bahwa sejarah terbuat dari sebuah struktur bahan yang gampang melayang. Sebab, bahan penyusunnya bagaikan kertas, yaitu ingatan.
Jangan sampai warisan budaya ini jadi sebatas ingatan yang pelan-pelan hilang, dan generasi berikutnya hanya akan mendengar cerita utoeh rencong dan rencongnya yang terakhir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.