KOMPAS.com - Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemi membuat orangtua menjadi pengajar utama anak selama di rumah. Bersama dengan guru, orangtua berkolaborasi agar capaian pembelajaran tetap terpenuhi.
Hanya saja, mendampingi anak belajar sekaligus menjalani pekerjaan kantor atau rumah kerap membuat orangtua kewalahan. Kesulitan mengendalikan emosi mengajari anak belajar, bisa menjadi salah satu masalah yang dihadapi orangtua.
Memarahi atau membentak kerap dilakukan agar anak lebih fokus atau disiplin dalam belajar. Namun, cara ini tidak disarankan karena dapat menimbulkan dampak negatif pada anak.
Baca juga: Belajar dari Orangtua Jepang Cara Menanamkan Disiplin pada Anak
Melansir laman Aku Pintar, berikut sejumlah akibat bila sering membentak anak:
1. Mengubah cara otak anak berkembang
Teknik mendisiplinkan anak dengan cara memarahi atau membentak dapat mempengaruhi perkembangan otak anak. Hal ini terjadi karena pada umumnya, manusia memproses informasi dan peristiwa negatif lebih cepat dan menyeluruh daripada yang informasi yang positif.
Sebuah studi membuktikan hal ini dengan membandingkan pemindaian MRI otak orang-orang yang memiliki riwayat pelecehan verbal di masa kanak-kanak dengan pemindaian pada orang yang tidak pernah mengalami hal tersebut.
Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan fisik yang mencolok di bagian otak yang berperan untuk memproses suara dan bahasa.
Amir Zuhdi, dokter ahli ilmu otak dari Neuroscience Indonesia, menjelaskan bahwa ketika anak dibentak, anak akan merasa ketakutan.
Rasa takut membuat produksi hormon kortisol di otak meningkat.
Semakin sering anak dibentak hingga membuatnya takut, semakin tinggi pula potensi kerusakan pada neuron. Neuron ini berisi “file-file” penting dalam hidup anak.
Baca juga: Aplikasi Ini Bantu Siswa Pecahkan Soal Matematika
2. Anak berpotensi alami stres
Salah kaprah bila orangtua menganggap bahwa memarahi anak saat melakukan kesalahan akan membuat anak menyadari kesalahannya.
Sayangnya, anggapan ini sama sekali tidak benar. Meskipun pada akhirnya anak menjadi patuh, tetapi apa yang anak lakukan adalah wujud ketakutan bukan kesadaran.
Kalimat-kalimat pedas dan keras yang orangtua lontarkan dapat dikategorikan sebagai kekerasan verbal.