Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Devita, Gadis Difabel Lulus dari UNY dengan IPK 3,50

Kompas.com - 02/03/2022, 11:23 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Salah satu mahasiswa berkebutuhan khusus (difabel) UNY bernama Devita Amalia Anggraini lulus dengan nilai IPK 3,50.

Devita kuliah di Prodi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan. Gadis kelahiran Yogyakarta di tahun 1997 ini menyandang tunadaksa.

Baca juga: 5 Profesi Jurusan Informatika Ini Laris di Masa Depan

Dia mengalami ketunadaksaan karena kecelakaan pada usia tumbuh kembang yang menyebabkan adanya kesulitan dalam mobilitas untuk dapat berjalan dengan normal.

"Pada awal usia sekolah dasar (SD) saya masih dapat berjalan tanpa alat bantu, tapi seiring pertambahan usia terdapat perbedaan panjang antara kaki kanan dan kiri. Hal itu menyebabkan penambahan alat bantu kruk diberikan untuk menunjang mobilitas secara mandiri," kata dia melansir laman UNY, Rabu (2/3/2022).

Kondisi disabilitas kaki Devita hanya berada pada kaki kanan, sehingga kaki kiri masih dapat berjalan secara normal.

Penggunaan kruk tersebut pada awal penggunaan mengalami hambatan karena belum terbiasa, tapi setelah menggunakan alat bantu ini selama belasan tahun membuatnya dapat mengontrol penggunaan kruk dengan baik.

Meski dengan alat bantu, dia dapat berjalan tanpa perlu memegang kruk dan dapat mengangkat atau memindahkan barang tanpa hambatan.

"Saya dapat mobilitas secara mandiri dengan adanya motor yang dimodifikasi sehingga dapat menunjang aktivitas saya," sebut dia.

Warga Terban Gondokusuman Yogyakarta itu menempuh semua jenjang pendidikan dari SD hingga SMK diranah pendidikan umum, dengan mempertimbangkan jarak tempuh rumah-sekolah yang setidaknya dapat ditempuh secara mandiri apabila tidak ada yang dapat mengantar jemput.

Menurut dia tidak terdapat masalah pembullyan yang serius selama menempuh ketiga jenjang pendidikan tersebut.

Baca juga: JHT Cair Usia 56 Tahun, Pakar UGM: Tidak Sensitif ke Pekerja Swasta

"Permasalahan mungkin hanya disebabkan usia anak-anak yang suka menjahili saya atau mungkin pada masa tersebut disabilitas masih belum tersebarluaskan sehingga teman-teman saya pada waktu itu masih menilai kondisi disabilitas adalah sesuatu yang unik, aneh, tidak biasa dan lainnya," ujar Devita.

Para guru pada waktu itu juga merasa kondisi Devita tidak memerlukan penanganan khusus, selain pelajaran yang memerlukan gerak, seperti tari dan olahraga.

Pada kedua pembelajaran tersebut, Devita biasanya hanya akan menunggu dipinggir lapangan atau hanya menjadi penonton selama pembelajaran berlangsung.

Biasanya penilaian akan dilakukan dengan pembuatan kliping atau laporan.

"Namun karena pembelajaran tersebut kadang hanya sekali seminggu dan terkadang terdapat guru yang tetap melibatkan saya dalam aktivitas gerak, sehingga saya tidak terlalu merasa terasingkan meski tidak mengikuti pembelajaran fisik," tutur dia.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau