Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Sastrawan Perempuan Indonesia yang Karyanya Mendunia

Kompas.com - 08/03/2022, 19:29 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”.

Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. Nh Dini telah melahirkan banyak karya puisi, novel, dan buku terjemahan.

Penghargaan yang telah diperolehnya adalah hadiah kedua untuk cerpennya “Di Pondok Salju” yang dimuat dalam majalah Sastra (1963), hadiah lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio France Internasionale (1987).

Nh Dini juga menerima Penghargaan Sepanjang Masa atau Lifetime Achievement Award dalam malam pembukaan Ubud Writers and Readers Festival 2017.

Baca juga: 5 Ciri Orang Cerdas Bukan Hanya Dilihat dari IQ, Kamu Punya Ciri-cirinya?

4. Leila S. Chudori

Leila S. Chudori bukanlah nama yang asing dalam dunia sastra Indonesia. Sejak usia 11 tahun, saat masih duduk di kelas V SD, ia telah memublikasikan karyanya di majalah. Cerpen pertamanya yang berjudul “Pesan Sebatang Pohon Pisang” dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung (1973).

Sejak itulah, ia memulai karier menulisnya dan melahirkan karya-karyanya. Setelah kuliah, ia mulai menulis cerpen-cerpen yang lebih serius dan dimuat di majalah sastra Horison, surat kabar Kompas Minggu, Sinar Harapan, serta majalah Zaman dan Matra.

Perempuan kelahiran 12 Desember 1962 ini adalah seorang wartawan. Ia berhasil menyabet penghargaan South East Asia Write Award pada tahun 2020 atas novelnya, Laut Bercerita. Hingga saat ini ia telah menerbitkan tujuh karya yang terdiri dari novel, kumpulan cerpen, dan lain-lain.

5. Djenar Maesa Ayu

Djenar Maesa Ayu atau yang akrab disapa Nai adalah salah penulis yang berbakat di Indonesia. Nai yang lahir di Jakarta tanggal 14 Januari 1973 berasal dari keluarga seniman.

Nai memulai menggeluti menulis dengan menemui sejumlah sastrawan seperti Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri. Salah satu ciri karyanya adalah temanya dunia perempuan dan seksualitas. Karya pertamanya adalah cerpen “Lintah” (2002) yang bertema feminisme dan dimuat di Kompas.

Baca juga: Beasiswa Kursus Bahasa Mandarin 2022, Tunjangan Rp 12,8 Juta Per Bulan

Buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! (2004). Buku ini telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003 dan telah diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Karya lainnya, berupa kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) juga mendapat penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award 2004. Cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh. ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris khusus edisi karya terbaik.

Itulah dia lima sastrawan perempuan yang berhasil menciptakan karya-karya luar biasa yang kini dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Sangat menginspirasi, bukan? Jadi, jangan ragu untuk berkarya dan menyuarakan pendapat melalui tulisan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau