Pelatihan yang diharapkan bisa meningkatkan kompetensinya, ternyata juga tidak banyak membantu.
Oleh bagian SDM dia dipanggil untuk memperoleh feedback dan akhirnya dipindahkan dari fungsinya yang sekarang ke tempat yang baru, dengan harapan akan menemukan situasi dan lingkungan baru.
Namun, masalah yang sama juga tetap terjadi, tidak ada perbaikan sama sekali. Bahkan atasannya tidak memberikan dia pekerjaan, karena dianggap akan mengganggu kinerja dan ritme fungsi barunya.
Kepada psikolog yang merupakan orang di luar organisasi, dia menceritakan masalahnya. Dia mengeluarkan uneg-unegnya kepada psikolog sambil menangis, dia bahkan pernah mengatakan ingin mati.
Dia menyeberang jalan yang ramai tanpa melihat ke kiri dan kanan, dengan harapan ada bus atau mobil yang menabraknya. Dia juga mengatakan lebih baik resign daripada menerima bully berupa body shaming dari teman-temannya.
Sang psikolog menambahkan, setelah kliennya menyampaikan uneg-unegnya yang biasa disebut sebagai katarsis, tekanan di dalam dirinya berangsur berkurang.
Baca juga: Daftar 7 Beasiswa S1-S3 2023, Kuliah Gratis dan Tunjangan Hidup
Gangguan emosi seperti mudah marah secara berlebihan, frustasi, sedih, tidak bisa tidur (insomnia) juga bisa menimbulkan gangguan fisik yang patut diwaspadai, seperti sakit perut, sakit kepala, mual, alergi, dan sebagainya.
Tentu saja akibat yang muncul dari satu sebab, akan berbeda manifestasinya antara satu orang dengan orang lain.
Siswa atau mahasiswa yang mempunyai teman dekat yang bisa diajak curhat, mungkin tidak akan mempunyai dampak yang lebih buruk dibanding anak yang tidak atau belum mempunyai teman di lingkungan barunya.
Kembali lagi ke kasus bunuh diri mahasiswa baru di atas, semua pihak perlu menunggu hasil penyelidikan, dengan melihat apa yang menjadi rekomendasi dari psikolog yang didatanginya.
Di lingkungan kampus, Universitas Pertamina memiliki sejumlah konselor profesional yang mempunyai tugas membantu dan mendampingi mahasiswa menghadapi permasalahan-permasalahan yang berpotensi mengganggu prestasi belajarnya.
Proses konseling tentu saja membutuhkan keterbukaan dari konseli (pihak yang membutuhkan konseling) atau klien.
Sayangnya, banyak mahasiswa tidak menyadari atau tidak mau menceritakan permasalahannya kepada orang lain, termasuk konselor.
Banyak orang berprasangka bahwa permasalahannya akan disebarluaskan, diceritakan ke orang lain, menjadi bahan studi kasus, atau mungkin jadi content media sosial.
Baca juga: Siapkah Kampus Indonesia Menjadi Kampus Bebas Asap Rokok?
Berdasarkan Keputusan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PBABKIN) nomor 10 tahun 2006, diatur tentang kode etik profesi bimbingan dan konseling, menyebutkan: