KOMPAS.com – Senin (3/4/2017), Indonesia mestinya berduka. Andai orang Indonesia tahu, sayangnya. Dan, ini bukan satu-satunya “momentum berduka” yang mungkin telah terlewatkan oleh bangsa Indonesia, sepertinya.
Satu orang “tak terkenal”—gara-gara orang Indonesia juga tak pernah benar-benar suka membaca—meninggal pada hari itu. Orang “tak terkenal” itu punya nama Mastini Hardjoprakoso.
Pada enggak kenal, kan?
Padahal, perempuan ini pernah mendapat perintah langsung dari Presiden Soekarno untuk menjahit bendera merah putih yang belakangan dikibarkan dalam upacara pembukaan Pesta Olahraga Nasional (PON) I di Solo pada 1948.
Padahal lagi, perempuan ini salah satu yang “menyelamatkan” gerakan kepanduan Indonesia dari pasang nama “pioneering” ala-ala di negara berpaham komunis. Upaya itu juga yang memunculkan nama Praja Muda Karana alias Pramuka seperti yang dikenal sekarang.
Lagi-lagi padahal, perempuan yang meninggal pada usia 88 tahun ini adalah orang pertama menempati posisi Kepala Perpustakan Nasional Indonesia.
Kisah Mastini dan bendera merah putih jahitannya, pernah diangkat harian Kompas edisi 9 September 1985, dalam artikel di halaman muka berjudul “Kisah Bendera PON I – Baru Sekali Dikibarkan, Terus Hilang”.
Adapun perannya soal nama Pramuka untuk gerakan kepanduan di Indonesia, antara lain diungkap mantan Kepala Biro Humas Kwartir Nasional Pramuka, Nurman Atmasulistya.
“Dulu (Pramuka) namanya Pandu Rakyat. Beliau ini aktif mulai dari terbentuknya Gerakan Pramuka,” tutur Nurman yang melayat di pemakaman Mastini di TMP Kalibata, Selasa (4/4/2017), seperti dikutip siaran pers yang disebarkan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Nah, kalau soal jabatannya sebagai orang pertama yang memimpin Perpustakaan Nasional, googling sendiri juga bakal ketemu kok.
Kalau beruntung, bakal ketemu juga dengan nama Mastini yang rajin mengirim surat pembaca kalau ada berita salah kutip atau tak akurat, setidaknya di harian Kompas.
Apa lagi yang terlewat?
Meninggalnya Mastini—seperti kalimat ketiga pada paragraf pertama di atas—bisa jadi bukan satu-satunya peristiwa terlewatkan yang seharusnya menjadi momentum berduka bangsa Indonesia.