Padahal saya hanya mendengar potongan-potongan pernyataan. Saya sendiri juga belum pernah bertemu secara langsung, apalagi ngobrol. Keputusan insting saya untuk tidak menyukai politisi si F ini tidak rasional.
“Tidak suka” ini sangat subyektif. Kebalikan dari cara berpikir rasional (analytic reasoning), keputusan untuk menyukai atau tidak suka dalam psikologi dipengaruhi oleh cara berpikir intuitif-instingtif (intuitive thingking).
Stereotyping
Cara berpikir ini sifatnya otomatis, tidak disadari, dan berlangsung cepat. Sebaliknya berpikir rasional cirinya logis, disadari, dan lambat.
Pernyataan, status, broadcast di media sosial selalu singkat, cepat berubah, dan bertubi-tubi. Banjir informasi ini lebih sulit dicerna dengan cara berpikir rasional. Jadi cara berpikir instingtif bermain disini.
Menurut Daniel Kahneman, profesor psikologi dan peraih Nobel ekonomi 2002 dalam penelitiannya bersama Amos Tversky, psikolog kognitif dari University of Michigan berjudul “Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases”, ciri-ciri berpikir instingtif adalah munculnya pernyataan “Saya pikir…”, “Kemungkinan si Anu…”, “Sepertinya…”, dan seterusnya.
Meski banyak penelitian mengatakan bahwa berpikir instingtif ini bisa bermanfaat untuk berbagai hal. Misal untuk mengambil keputusan bisnis.
Namun dalam penelitian Irene V. Blair dan Mahzarin R. Banaji dari Yale University pada Journal of Personality and Social Psychology cara berpikir ini juga menyebabkan kita mengalami bias kognitif yaitu “stereotyping”.
Dalam kontes politik seperti pilkada, stereotyping berarti memilih calon yang “sama dengan saya…”. “Sama” dalam konteks stereotype berarti sesuku, seagama, separtai, segolongan (in-group), atau senasib.
Hal ini digunakan sebagai kemasan kampanye. Jokowi mungkin memenangkan pemilu 2014 karena membangun gambaran diri sebagai “orang biasa” yang sama dengan Anda dan saya. Orang yang berjejal naik bus atau kereta, makan di warteg, atau belanja di pasar.
Sementara kontestan lain mungkin gagal menunjukkan kesamaannya dengan kebanyakan pemilih dengan menggambarkan dirinya naik kuda dan sebagai sosok Jendral Sudirman atau Pangeran Diponegoro.
Tidak semua orang bisa menjadi panglima besar dan mengalahkan pasukan Inggris di Ambarawa. Tidak semua orang mengenal baik atau pernah ngobrol dengan Pangeran Diponegoro.
Memang benar gambar kedua tokoh ini ada dimana-mana namun kebanyakan hanya gambar dan dikagumi samar-samar. Tentu saja hal ini secara tidak sengaja justru menjauhkan diri dari sebagian besar pemilih.
Sebaliknya pada pemilu di Amerika pemilih dengan sengaja dijauhkan dari calon kuat. Obama digambarkan sebagai “orang lain/others” dengan diisukan dia bukan warga negara Amerika, beragama Muslim, dan seorang sosialis atau komunis.
Ciri-ciri 'Bias Kognitif'