Budaya belajar di Negeri Kincir Angin itu memang bikin anak-anak Indonesia tidak bisa banyak berleha-leha. Tugas menumpuk, jadwal ujian pun ketat.
"Ujiannya kan bukan tiap enam bulan atau satu semester seperti di Indonesia. Di sini tiap tujuh minggu ujian. Itu yang harus diadaptasi oleh anak-anak Indonesia. Tidak bisa santai," uja Ario Sudiro, mahasiswa S-2 peraih beasiswa yang tengah menimba ilmu di Fakultas Ekonomi (ESE) Erasmus University Rotterdam, Belanda, Rabu (4/3/2015), di Erasmus University Rotterdam.
Satu-satunya penerima beasiswa StuNed (Studeren in Nerdeland) dari instansi swasta, yaitu Astra International di Jakarta, ini mengaku dengan jadwal seketat itu bukan cuma harus pandai mengatur waktu belajar, namun juga memilih teman. Menurut dia, cara paling tepat adalah memilih teman yang saling menguntungkan dalam belajar.
"Berteman dengan mahasiswa internasional lain belum tentu dapat yang pintar, yang ada main melulu, bukannya belajar. Harus pandai baca situasi, jangan terbawa jadi ikut bermain-main dan santai," ujar Ario.
Cerita Ario diperkuat oleh pendapat Rinaldy Pradana, mahasiswa S-2 di Institute For Housing and Urban Development Studies (IHS), Erasmus University Rotterdam. Rinaldy menuturkan, ia lebih banyak membaca jurnal ketimbang belajar dari teori-teori di kelas. Satu semester dia bisa membaca dua sampai lima jurnal ilmiah internasional.
"Bayangkan, untuk 500 kata yang akan saya perlukan itu itu referensinya bisa diambil dari tujuh jurnal. Itu wajib, tidak main-main. Memang, kita di sini lebih banyak belajar sendiri, sebab dosen lebih sering mengajak diskusi ketimbang memberi teori-teori," kata Rinaldy.
Siap mental untuk belajar sendiri. Itulah yang dikatakan Rosita Damastuti, mahasiswi S-2 di Institute For Housing and Urban Development Studies (IHS), Erasmus University Rotterdam. Menurut dia, tujuh minggu menyiapkan ujian itu tidak boleh lengah.
"Susah mau main-main. Bahannya banyak, waktunya sedikit," ujar Rosita.
Seperti halnya penuturan Rinaldy, menurut Rosita, dosen-dosen di kampusnya lebih banyak memberi tugas membaca jurnal dan berdiskusi di kelas, bukan memberi teori. Membahas proyek-proyek penelitian juga jadi "makanan" di kelas.
Pengakuan sama juga diungkapkan Erika H Wijaya, mahasiswa double degree di HIS Erasmus Universiteit. Sebagai mahasiswa gelar ganda, Erik mengaku lebih enak kuliah dengan cara yang diberikan para dosen di kampus ini dibandingkan di Indonesia.
"Dosen di sini sangat cepat membalas email dan tak susah dikontak. Kita tidak disuapi terus dengan teori-teori di kelas, tapi malah lebih banyak berdiskusi. Kami diberikan jurnal ini dan itu yang jumlahnya banyak, lalu kami belajar sendiri. Sisanya kami berdiskusi dengan teman dan dosen," ujar mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang akrab disapa Erik itu.
Menurut dia, dosen-dosen di kampusnya ini sangat terbuka. Mereka tak sungkan untuk berbagi hasil penelitiannya kepada mahasiswa dan memperkenalkan proyek yang sedang dikerjakan dan membahas dengan mahasiswanya.
"Afiliasi mereka ke lembaga-lembaga internasional, aksesnya luas sekali. Kami diberi banyak literatur dan tinggal memilih yang kita butuhkan karena saking banyaknya," ujarnya.