Bondhan Kresna W.
Psikolog

Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta (2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.gl/bH3nx4 

Terorisme, Kesehatan Jiwa, dan Cara Menghindarinya

Kompas.com - 21/05/2018, 07:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketika seseorang kesehatan jiwanya sedang merosot, orang lain cenderung  dengan mudah “masuk” dalam kehidupannya. Bisa jadi “Klik” yang terjadi pada Dita Oepriarto, pembom 3 gereja di Surabaya sudah terjadi ketika masa sejak masa remaja yang konon tidak mau ikut upacara bendera.

Lalu bagaimana cara kita menghindari direkrut oleh organisasi teroris?

Sebelumnya kita perlu tahu bahwa organisasi teroris biasanya berbentuk kelompok tertutup. Skema rekrutmennya seperti sebuah sekte (cult) membuat seseorang terikat dan tergantung. Tidak secara fisik, tapi secara psikologis.

Contohnya kelompok NII (Negara Islam Indonesia) yang melakukan beberapa “penculikan” dan sempat membuat heboh beberapa waktu lalu. Korban seperti dihipnotis.

Namun perlu diingat bahwa tidak semua kelompok tertutup itu organisasi teroris. Kelompok yoga pun bisa menjadi sebuah cult.

Lalu seperti apa ciri-ciri modus rekrutmen kelompok teroris ini sehingga korban bisa “ditelan” (engulfed) oleh kelompoknya  :

Fase 1: Empati

Sebelum mem-brainwash, korban akan diberi “ikatan” psikologis berupa empati, kasih sayang (bila perempuan), dan solidaritas (bila laki-laki) yang sangat kuat. Atau malah dalam kacamata orang-orang di dekatnya, berlebihan.

Proses ini tidak butuh waktu lama, apalagi pada korban jiwanya sedang merosot. Kemudian korban akan merasa memiliki tempat aman, merasa punya kawan seperjuangan yang “benar”, yang berkorban demi dirinya.

Fase 2: Dinding Emosi

Korban akan mulai dijauhkan dari teman-temannya, lalu keluarganya. Mereka dianggap ancaman karena memiliki pengaruh dan riwayat psikologis pada korban. Korban harus “diputuskan” secara emosional.

Bisa jadi secara fisik masih berinteraksi seperti,tetapi ada “tembok tinggi” dalam kepala dan pikiran bahwa teman dan keluarga adalah “orang lain”.

Fase 3: Brainwash

Fase ini menurut saya paling panjang. Pelaku sudah “menguasai” korban secara psikologis. Teman dan keluarga sudah disingkirkan, jadi pelaku punya waktu agak longgar.

Pandangan-pandangan orang yang di luar kelompoknya sudah pasti salah. Kebenaran hanya milik kelompoknya. Saat ini pelaku mulai mengajak diskusi mengenai pandangan-pandangan yang baru. Fase ini bisa jadi sudah dimulai sejak fase pertama. Tapi akan lebih intensif di fase yang ketiga.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau